Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai sekarang belum usai adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita menjelajah buku bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama, berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam segala kehidupannya.
Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam hubungan dengan sesamanya.
Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya.
Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang.
Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan akal budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.
PERSOALAN HUKUM DI INDONESIA
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
Mari kita lihat, apakah kondisi yang sama pada saat ini masih akan kita temui dalam 20 tahun ke depan?
WAJAH PNEGAK HUKUM MAKIN LESU
Wajah penegakan hukum makin lesu, SBY tidak bisa lagi melepaskan tanggung jawab politik hukum kepada pembantunya. Jika digambarkan wajah penegakan hukum SBY = Wajah Kejaksaan Agung dan POLRI. Hukum di Indonesia saat ini berpihak kepada yang memiliki "kekuasaan" dan yang memiliki banyak "uang". Hukum dapat diperjualbelikan dengan oleh dua hal tersebut. Sistem hukum mengalami ancaman oligarki dan persekongkolan elit. Masyarakat biasa mendapat perlakuan hukum yang berbeda dibandingkan dengan seorang pengusaha kaya atau keluarga penguasa. Sebagai contoh para koruptor dihukum tidak sebanding dengan kerugian yang dilakukankannya terhadap negara dibandingkan dengan seorang masyarakat biasa yang mencuri uang majikannya.
Bincang - bincang mengenai Reformasi Hukum, Transparency International Indonesia (TII) menggunakan momentum Halal Bihalal dan perayaan ulang tahunnya yang ke-10 mengundang mitra, jaringan untuk bersama - sama merayakannya di Warung Desa Cikini, 22 September 2010. Istilah Teten Masduki, Sekjen TII adalah memberikan kesempatan kepada beberapa lembaga untuk memberikan pidato politiknya dalam pembukaan acara ini. Selain dari Irfan dari TII, Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah terdapat Usman Hamid dari KontraS yang dihadirkan untuk berbicara mengenai Reformasi Hukum.
Febri Diansyah mengatakan bahwa penegakan korupsi masih terancam karena putusan pengadilan hukum. Tindakan Menteri Hukum dan HAM yang memberikan remisi serta membebaskan koruptor memperlihatkan pemberantaskan korupsi makin rendah. KPK sebagai lembaga independen yang diharapkan dapat melakukan pemberantasan korupsi jika tidak segera dibenahi, akan segera runtuh. Upaya yang harus segera dilakukan adalah pembenahan institusional yaitu evaluasi dan restrukturisasi termasuk penegakan hukum terhadap pelaku korupsi yang terlibat dalam penghacuran institusi negara.
Berbicara mengenai korupsi, Trend korupsi tahun 2009 - 2010 didapati dengan kasus terbanyak daerah adalah modus penyalahan pembelanjaan. Hal ini akibat dari lemahnya sistem pengawasan pembuatan anggaran dan pembelanjaan. Anggaran sendiri merupakan politik yang dituangkan dalam bentuk uang, maka ketika proses pembuatan penganggaran terjadi persengkongkolan elit serta didominasi oleh kepentingan kelompok tertentu yang tidak berpihak pada publik. Paparannya lagi, Laporan IMF September 2010 menyebutkan akibat korupsi ekonomi kita tidak tumbuh dengan maksimal.
Usman Hamid, KontraS menambahkan bahwa ada tiga hal pokok dalam Reformasi Hukum yaitu : (1) Pengawasan Demokratik (2) Penghormatan Rule of Law (Penegakan Hukum) dan (3) Penghormatan HAM. Dalam penjelasannya pengawasan demokratik yang dimaksud adalah adanya kontrol internal (DPR) serta eksternal (pengawas independen). Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu. Maka setelah tiga hal pokok diatas terpenuhi, hal berikutnya adalah pemberantasan korupsi. Usman menyerukan agar ada integrasi masyarakat sipil dan terus memperkuat gerakan anti korupsi dan HAM. Ini merupakan kunci utama, agar kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik dan kuat.
Harapan besar kita bersama Presiden jangan salah pilih Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Komnas HAM agar institusi ini bekerja dengan menjunjung tinggi keadilan. Institusi - institusi ini harus lepas dari pemerintah atau tidak tergantung oleh pemerintah sehingga tidak terjebak dalam politik HAM dan korupsi.
Saya sendiri jadi ingat sebuah pernyataan kekecewaan seorang supir taksi dalam perbincangannya ketika saya menumpangi mobilnya .... "SBY memang berjanji dalam kampanye pemenangan pemilunya untuk memberantas korupsi, sekaligus berjanji membebaskan Besannya (Aulia Pohan) sebelum berakhir masa kepemimpinannya". Rakyat kecil telah mampu melihat politik kekuasaan serta nepostisme politik yang diterapkan oleh penguasa.