Kisah Kisah TKI Yang Sukses

Kisah tragis yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) seringkali menjadi topik pemberitaan di media massa. Kebanyakan TKI mendapat perlakuan tidak manusiawi ketika bekerja di luar negeri. Di sisi lain, ada warga yang sukses menjadi TKI, Kisah sukses disini bukan kelasnya menjadi seorang konglomerat tapi paling tidak niat awalnya menjadi tenaga kerja karena ingin merubah kehidupannya ataupun keluarganya telah tercapai bahkan ada sebagian TKI berhasil menjadi pengusaha yang Sukses.
Tulisan ini sengaja kami tayang kembali agar menjadi masukan dan pelajaran buat para tenaga kerja kita yang lain, bahwasanya : kalau mereka-mereka ini bisa sukses kenapa Anda tidak? Dari berbagai nara sumber kami angkat kisah beberapa TKI Yang Sukses sebagai berikut :

1.Maman dan Istri dari majalengka

Maman berasal dari majalengka-jabar.istrinya sudah berangkat duluan sebagai tkw selama tiga tahun,ditambah dengan kedatangan suaminya yg menyusul atas inisiatif istrinya maka dikasih visa sopir..jadi sekarang sudah 5tahun kerja,selama kerja di saudi istrinya dan pasangan ini sudah mampu membangun rumah permanen dan juga membeli sawah beberapa ratus meter.serta membeli angkot..makhlum suami istri jadi cepat banget kumpul duitnya..!!selama bekerja disaudi..anaknya di asuh oleh ibu dari istri maman ini..!dan sekarang pasangan suami-istri ini sudah pulang kamnpung serta tidak kembali lagi ke saudi arabia..dengan alasan sudah cukup..sudah punya modal jadi antar jemput pedagang sayur di pasar majalengka..!sementara istrinya sekarang hanya mengasuh anak saja dirumah ya itung-itung istirahat..menggemukan badan setelah 5tahun bekerja keras sebagai prt di saudi arabia..!!tapi setidaknya sekarang mereka boleh tersenyum pasangan ini karena sudah punya rumah permanent dan juga mobil buat antar jemput serta sawah buat tanam padi buat makan..!padahal niat mereka hendak balik kerja lagi disaudi..cuma gara-gara dibohongi tidak satu bos(istri di abha,suami di jeddah),maka mereka tidak memperpanjang lagi..paling-paling ketemu jika istrinya dibawa ke jeddah,karena majikannya masih satu keluarga kakak- adik…selamat untuk pasangan ini..!

2.Khori dan istri dari madura.

Nah pasangan ini lain lagi kisahnya..mereka datang via umroh,setelah umroh mereka lepas dan kabur ke rumah sodaranya dijeddah yg memang sudah di rencanakan..dari madura..!pertama-pertama mereka kesulitan cari kerja terutama suaminya karena dia kurang pandai sebagai sopir,maka kerja dijeddah paling hanya direstoran atau menjaga rumah orang arab..!sementara istrinya sebagai prt langsung tancap gas..karena permintaan prt di jeddah sangat tinggi,maka dalam hitungan hari istrinya ini sudah dapat kerja dengan gaji minimal 1200sr/bulan,lama-lama setelah tahu bahasa..istrinya ini..punya inisiatif tersendiri,yaitu kerja part time diberbagai rumah orang arab..caranya adalah hari ini kerja dirumah si A,besok si B dan seterusnya..pokoknya dihitung dalam seminggu mungkin 3kali datang dengan maksimal kerja 4-5jam/hari pada masing-masing rumah..!!dari satu keluarga tergantung nego ada yg kasih 600sr-700sr/bulan,karena dia kerja di lima keluarga maka satu bulan dapat uang lebih dari 3000sr lebih..ini sudah biasa buat tkw kaburan…kerja harian namanya..!dan bisa pulang kerumah sewa-an..tiap hari!begitupun suaminya..bisa dapat 1000sr/bulan dari kerja direstoran,total pasangan ini dapat uang 4000sr/bulan..!pernah saya tanya sama suaminya ini..mengapa sampai ke saudi arabia..alasannya klasik banget anaknya sudah besar sedang kuliah di akademi perawat dimadura..!!makanya karena biayanya sangat besar ,mereka terpaksa lewat jalur umroh,dulu kerja dagang ikan di madura atau jadi nelayan..tapi tidak cukup untuk biaya anak gadisnya yg kuliah di akademi perawat..!tapi sayang suaminya sekarang sudah ke tangkap polisi dan di deportasi ke indonesia ,sementara istrinya masih aman kerja dijeddah,banyak sodaranya yg kerja dijeddah..!

3.Saedudin dan istri dari Purwokerto

Nah yang ini masih satu kampung dengan saya..!saedudin ini sudah tki bangkotan kali sudah lama banget ada kali 10tahun kerja di saudi arabia,malah istrinya sudah kembali duluan,tempo hari saat saya cuti..masya allah..sudah mampu bangun rumah mewah dua malah,satu yg ditempati dan satunya lagi dikosongkan serta punya pekarangan yg ada kolam ikannya..!mobil pic up kecil juga sudah punya buat antar jemput barang,sementara sekarang usaha kelontong dan play station untuk anak-anak dikampungnya..!selama kerja di saudi gajinya sudah sampai 1800sr/belum lagi kadang dapat obyekan cuci mobil orang saudi yg ngontrok dirumah majikannya jadi sebulan nih orang dapat 2500sr/tapi sayang karena kemaruk duit dia ketangkap saat mau menyebrangkan tkw ke mekkah yg mau kerja di mekkah..(perlu diketahui orang jeddah atau luar mekah yg mau masuk ke mekkah harus kena chek point)dan dia kena banned tidak boleh masuk saudi selama 5tahun,karena membawa wanita yg bukan muhrimnya,padahal dia niatnya ngobyek/mengantarkan saja..menyebrangkan wanita ini dari jeddah ke mekah yg mau kerja dimekkah..!tapi sudah cukup kaya jadi dia tidak begitu menyesal..walau tetap niatnya ingin kembali lagi ke saudi arabia,tapi sayang sudah kena banned selama 5tahun..!jadi susah jika mau ke saudi lagi..!harus sabar..!

4.Mas Sahid dan istri dari Sumbawa

Nah nih orang lain lagi..kisahnya..!!sudah sopir dan suami istri sampai lebih 10 tahun juga..gaji sih tidak besar,hanya mentok dikisaran 1400sr,baik istri or suami..tapi karena sudah sampai begitu lama..wajarlah sudah punya rumah sendiri dan mobil angkot di sumbawa..anak-anaknya juga sudah besar-besar sudah SMA..!!yg lucu istrinya mengizinkan suaminya poligami/kawin lagi..!!sudah dicoba poligami sama orang cirebon gak taunya malah cerai..untung saja istrinya masih setia dan malah mentertawakanya!!emang enek punya istri dua..?satu aje gak habis pakai istri dua..belagu banget nih mas sahid..!!hehehe..sunattulah katanya..terus kata istri sih..takut gak masuk surga kalo gak ngijinin suaminya kawin lagi..istri yg soleha..suami yg ndablek..ya gimana gak ndablek..istri sudah membantu jadi tklw bareng satu majikan,selama bertahun-tahun malah minta izin kawin lagi..untungnya kok ya di izinkan..!hehehe..tapi istrinya pinter bikin nasi uduk..sedap oie..saya pernah dikasih..dulu dah lama..!!sekarang katanya mau cuti 6 bulan dan mau berusaha bisnis diindo,jika jalan ,maka..gak balik lagi ke saudi arabia,jika gagal maka kembali lagi..!

Makanya jangan memandang tki/w itu rendah..apalagi dianggap memalukan bangsa..buat saya tkw/i tidak memalukan bangsa,yg memalukan bangsa itu koruptor,dan KKN,politikus yg cuma obral janji,serta mafia peradilan yg menjadikan indonesia dipandang sebagai negara tidak benar dan investor lari semua ..!ya itu tadi karena birokrasi yg berbelit,serta jaminan keamanan yg tidak pasti..!

Kedepan sih saya harap dibangun semacam rumah singgah/agency buat memantau nasib tki/w di saudi..jadi prinsipnya..tkw itu bukan milik majikan orang saudi tapi bekerja,jadi perlu diawasi..!dan tidak boleh diperlakukan semena-mena..!jika ada laporan dari tkw bahwa dia tidak dapat hak nya seperti gaji tidak dibayar,tidak dikasih makan,atau malah terancam jiwanya karena mau diperkosa dll.maka rumah singgah/agency ini bisa mengambil tindakan dengan menarik tkw tersebut..!ini yg perlu dibahas dengan pemerintah saudi arabia..kalo bisa buka perwakilan/rumah singgah/agencyini di 13 propinsi di saudi arabia,negara arabia itu luas dan peluang kerja sangat besar untuk sektor sopir dan tkw…hanya saja perlindungannya yg tidak maksimal..!sektor lainnya juga banyak,cuma orang indonesia gagal bersaing dengan warga philipin dan india.

Andai saja Indonesia mampu menyediakan lapangan kerja sudah pasti tak ada yg mau jadi tki..!!tentu saja seimbang antara pendapatan dan pengeluaran..disini saudi contohnya..walau tki digaji segitu,tapi mereka dapat jatah makan untuk tkw..jadi bisa utuh..!!sementara harga-harga makanan juga terjangkau..!!

Kisah Mantan TKI yang Sukses Jadi Pengusaha Mobil

Kisah tragis yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) seringkali menjadi topik pemberitaan di media massa. Kebanyakan TKI mendapat perlakuan tidak manusiawi ketika bekerja di luar negeri.

Di sisi lain, ada warga yang sukses menjadi TKI dan luput dari perhatian. Salah satunya adalah Edi Suryadi (46), warga Kampung Cirendeu RT 03 RW 03 Desa Mekarsari, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi.

Edi pernah menjadi TKI selama empat tahun di Arab Saudi. Keberangkatan Edi menjadi sopir di negeri orang pada 2000 lalu itu hanya semata untuk mencari modal usaha di negara sendiri. Setelah modal terkuhttp://cms.republika.co.id/news/creatempul, Edi kembali pulang ke Tanah Air pada 2004.

Berbeda dengan TKI lainnya, sebelum berangkat ke luar negeri, Edi telah menguasai bahasa Arab. Pemahaman bahasa Arab diperolehnya ketika belajar di madrasah. "Kemampuan bahasa menjadi modal utama bekerja di luar negeri," tutur Edi. Jika tidak mampu menguasai bahasa negara tempat bekerja, maka potensi untuk dibohongi dan diperlakukan kasar sangat besar terjadi.

Kemampuan bahasa itu pula yang menjadikan penghasilan Edi lebih besar. Pasalnya, Edi sempat menawar gaji yang ditawarkan kepadanya. Awalnya, gaji yang diberikan hanya sebanyak 800 riyal Saudi per bulan. Namun, Edi meminta sebesar 1.200 riyal per bulan. Permintaan itu disanggupi oleh majikannya di Arab Saudi.

Dampaknya, kata Edi, setiap empat bulan sekali dia bisa mengirimkan uang sebesar Rp 10 juta ke tanah air. Uang itu ditabung oleh istrinya, Eti Budiati (40) untuk modal usaha membuka showroom mobil.

Setelah empat tahun bekerja di Arab Saudi, kata Edi, dia memutuskan untuk pulang ke tanah air. Uang yang ditabungnya selama ini dijadikan modal usaha membuka showroom mobil bekas dan baru di tempat tinggalnya.

Hasil menjadi TKI pun dapat digunakan untuk membiayai anaknya hingga kuliah di perguruan tinggi. Bahkan, Edi sanggup membeli sawah dan mobil pribadi. Meskipun berhasil bekerja di luar negeri, namun Edi enggan kembali ke Arab Saudi. "Bekerja di dalam negeri lebih nyaman," prinsip dia.

Sukisman dan Dewi Asal Garut

Banyak kisah TKI bernasib naas. Kalau pun tidak, TKI yang pulang kampung acapkali gagal memanfaatkan uang yang dikumpulkannya selama bekerja di luar negeri. Lalu, bingung mencari pekerjaan lagi dan selamanya hanya menjadi kuli. Padahal, menjadi kuli di negeri sendiri penghasilannya tak mungkin sama dengan di luar negeri.

Sementara itu, usia produktifnya dihabiskan di negeri rantu. Pulang sudah usia setengah tua. Sudah tak bisa punya daya tawar memilih pekerjaan. Lebih parah lagi, mantan TKI cenderung malas bekerja dengan gaji rendah. Sebab, sudah terbiasa dengan gaji besar di luar negeri.

Menyadari kemungkinan terjadinya hal buruk tersebut, mantan TKI yang merupakan pasangan suami istri, Sukisman dan Dewi, mencoba menyiapkan hari tua seawal mungkin. Keduanya sama-sama berusia 35 tahun, dan pernah menjadi Tki di Korea.

Pasangan suami istri yang mengaku saling bertemu di Jakarta itu kini sukses beternak telur puyuh. Keuntungan bersihnya mencapai Rp. 1 juta/pekan. Modal awal pun sudah kembali dalam waktu enam bulan.

Sukses itu tidak datang tanpa ujian. Tetapi diawali dengan kebangkitan total usahanya dalam beternak sapi. Akibat kebangkrutan besar itu, Dewi harus rela ditinggal pergi suaminya ke Korea. Mencari modal lagi untuk usaha.

Padahal, waktu itu Dewi yang asli Garut, Jawa Barat baru saja melahirkan anak pertamanya, Gerrad Meilano (5). Sedangkan putra keduanya, Aditya Al Majid yang kini berusia 11 bulan lahir hampir bersamaan dimulainya bisnis telur puyuh.

Dewi mengawali rumah tangganya dengan ketidakpastian sumber penghasilan. Namun, mereka kini sudah mapan. Memiliki toko pakan ternak bertingkat dua dan beternak puyuh petelur sebanyak 4 ribu ekor.

Penjualnya juga sudah ajeg. Ada pengepul dari Klaten yang setiap dua minggu sekali datang mengambil telur. Ini masih ditambah keuntungan besar bisnis burung kicau yang harganya mulai dua ratus ribu sampai jutaan rupiah.

Sukses Pasca Bangkrut

Dewi, asal Garut Jawa Barat. Berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di desa. Seperti pada umumnya perempuan muda yang baru saja lulus SMA di tahun 1996, Dewi juga ingin segera bekerja. Pasalnya, sekolah di perguruan tinggi jelas tidak mungkin.

Ketiadaan biaya menjadi kendala. Alhasil, sejak tamat dari SMA, Dewi bertekad mencari pekerjaan sebisanya. Padahal, di Garut jarang ada pabrik besar. Karena itu, Dewi yang ingin mengubah nasibnya membulatkan tekad untuk merantau.

Pertama kali, bekerja di sebuah pabrik di Purwokerto. Tetapi, hanya bertahan selama dua tahun. Sesudah itu, pulang ke desa dan menganggur. Tak ingin hanya berpangku tangan, Dewi kembali bekerja. Tekadnya semakin bulat dan besar, sehingga dirinya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.

Setelah susah payah melamar melalui PJTKI, awal tahun 2003 bisa berangkat ke luar negeri dan bekerja di sebuah pabrik pembalut di Korea. Ketika hendak berangkat ke luar negeri itulah, dia bertemu dan berkenalan dengan Sukisman. Seorang TKI asal Selman yang juga hendak mengadu nasib di Korea.

Perkenalan itu berlanjut salama keduanya berada di negeri orang. Sehabis masa kontak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman pulang ke Indonesia. Waktu itu, tahun 2005. Setahun kemudian, 2006, mereka menikah, “waktu menikah itu, kami sama-sama masih menganggur,” ungkap Dewi.

Saking pusingnya tak kunjung mendapat pekerjaan, Sukisman nekad berangkat ke Korea lagi. Sedangkan Dewi tinggal di Garut bersama anak pertamanya yang waktu itu baru berusia dua minggu.

Tiga tahun lamanya Sukisman bekerja di Korea. Tahun 2009, Sukisman pulang dan keduanya sepakat membuka usaha di kampung halaman Sukisman di Pendowoharjo, Sleman. Dewi setuju.

“Tahun 2009 itu, kami sepakat beternak sapi. Tidak tanggung-tanggung, kami berdua membeli 10 ekor sapi. Tapi, semua itu gagal. Harga sapi terjun bebas dan kami rugi dua juta rupiah perekor. Itu belum termasuk kerugian tenaga dan pakan,” kenang Dwi.

Namun, kegagalan itu tak membuat mereka putus asa. Sebaliknya, terus memompa semangat suaminya untuk terus berushaa. Akhirnya melalui seorang teman, Dewi belajar beternak puyuh petelur.

Akhir tahun 2009, Dewi dan Sukisman bahu membahu membangun peternakan puyuh. Uang sisa penjualan sapi yang ruti, diinvestasikan lagi untuk beternak telur puyuh dan membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.

“Tidak disangka, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu ekor, semua modal sudah kembali dalam waktu enam bulan. Omzetnya sangat tinggi,” kata Dewi.

Kini, Dewi semakin tekun memelihara telur puyuh. Sekalipun cukup sulit, hasilnya sepadan.

Memelihara puyuh petelur itu sulit, karena tergolong ternak sensitif. Mudah tertular penyakit dan stres. “Kalau mendengar suara keras yang mendadak, puyuh bisa stres. Tapi dengan kandang yang tertutup dan dibersihkan setiap hari, semua kendala itu tidak bermasalah,” jelas Dewi, seraya mengimbuhkan karena itu pula dirinya melarang orang lain untuk bisa mauk ke kandang. Selain keuntungan dari telur puyuh. Dewi juga masih memperoleh keuntungan lain dari penjualan kotoran puyuhnya. Dari 4 ribu ekor puyuh, dalam sehari menghasilkan kotoran sebanyak 3 ember. “Satu ember kotoran puyuh yang masih basah laku terjual sebesar seribu rupiah,” katanya.

Sedangkan dari puyuhnya sendiri, kadang juga masih bisa diperoleh sedikit keuntungan lagi. Setahun, sekali, puyuh yang sudah tidak produktif dijual seharga Rp. 2.500/ekor dan diganti puyuh usia 3 minggu. “Puyuh akan mulai bertelur pada usia 60 hari dan mencapai puncak produktivitasnya pada usia 10 bulan,” pungkasnya.



Kisah TKI Minahasa yang Rata-Rata Jadi Miliarder


Di balik cerita duka yang kerap menghiasi perjalanan hidup para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, seperti Arab Saudi dan Malaysia, nyatanya masih banyak cerita sukses para TKI yang mendulang dollar di negeri orang.

Di Minahasa, Sulawesi Utara misalnya, tak sedikit para TKI yang bekerja membanting tulang di negeri orang menjadi miliarder di kampung halamannya. Bahkan, ada satu desa yakni Desa Waleure, Kecamatan Langowan Timur, Kabupaten Minahasa yang kebanyakan penduduknya menjadi TKI di Amerika Serikat. Puluhan di antaranya bahkan sudah mengantongi green card.

Di desa tersebut, terlihat deretan rumah megah di sepanjang jalan. Orang-orang yang melewati desa langsung dengan mudah bisa menebak jika pemilik rumah-rumah pastilah mereka yang menjadi TKI di negeri Paman Sam. Di garasi rumah mewah tersebut biasanya terpakir mobil bermacam merek.

Olvie Tunas, 56 tahun, salah seorang TKI yang baru saja kembali dari Amerika setelah bekerja selama enam tahun menuturkan, dengan penghasilan rata-rata Rp30 hingga Rp 40 juta per bulan, dia bisa menyisihkan penghasilannya untuk membangun rumah megah di kampung halamannya, menyekolahkan anak-anaknya, membeli sejumlah mobil, membuat toko untuk tempat usahanya, membeli ber hektar-hektar sawah maupun lahan kebun, juga memiliki simpanan uang di bank.

Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Olvie pun masih berharap dapat kembali lagi ke Amerika untuk bekerja. Olvie hanyalah satu dari sekian banyak TKI asal desa Waleure yang sukses. Masih banyak Olvie-Olvie lain yang berasal dari sejumlah daerah di Minahasa, yang bekerja di sejumlah negara seperti Amerika, Jepang dan Hongkong.

Pemerintah Kabupaten Minahasa sendiri sangat bersyukur dengan keadaan para TKI asal daerah Minahasa yang sukses sebagai TKI, meski diakui pemerintah tidak mengetahui secara pasti jumlahnya. (Hpp)

Kisah TKI Sukses Asal Banyumas

MESKI sudah lama bekerja, tak menyurutkan Solihatin untuk melanjutkan pendidikan. Ya, Atin—panggilan akrabnya—merantau ke Taiwan sekitar 10 tahun, tepatnya mulai 2000. Namun, sesampainya di Indonesia, Atin yang lulusan SMEA Muhammadiyah Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, langsung mewujudkan keinginannya.’’Saya waktu SMEA ngambil jurusan sekretaris. Tapi habis SMEA memilih merantau ke luar negeri,’’ ujar perempuan yang tinggal di Bantar, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, itu.

Barangkali keinginan kuat Atin melanjutkan pendidikan tak lepas dari keluarganya. Keluarga Atin bisa dibilang adalah keluarga pendidikan. Meski ibu Atin hanya ibu rumah tangga, bapaknya adalah pensiunan guru. Ketika masih aktif, bapak Atin pernah menjabat sebagai kepala sekolah salah satu madrasah ibtidaiyah—setingkat SD--di daerahnya. Semua kakaknya tak ada yang hanya sampai SLTA. Sehabis SLTA, mereka melanjutkan pendidikan lagi. Tiga adiknya juga demikian.’’Yang paling kecil sekarang masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),’’ ujar anak ke-6 dari 9 bersaudara itu ketika dihubungi INDOPOS, Rabu malam (20/7).

Sepulang dari Taiwan pada 4 November 2010, Atin ingin segera bisa melanjutkan pendidikan.’’Karena sudah lama tidak pegang buku, saya ngambil diploma dua jurusan perpustakaan. Ikut Universitas Terbuka. Kalau nanti lancar kan bisa ngambil S1. Ya sudah lama tidak belajar, mencoba pikiran dulu. Pendidikan itu penting. Apalagi sekarang, tanpa kuliah, susah cari kerja,’’ jelas perempuan kelahiran 1978 tersebut.
Atin juga menambah pengalaman dengan kursus komputer dan bekerja di bagian perpustakan madrasah ibtidaiyah (MI) di daerahnya. ’’ Di MI, kebetulan butuh tenaga kepustakaan. Di sini kan baru dirintis. Kalau kursusnya sudah selesai. Selebihnya bantu-bantu ibu di rumah,’’ terang perempuan yang masih single tersebut.

Kenapa tidak jadi guru seperti bapaknya dulu? Atin mengaku tidak tertarik. Makanya, saat SMEA dia mengambil jurusan sekretaris.’’Untuk menjadi guru, jauh. Bukan jurusannya. Pengin kerja kantoran. Ya seperti pustakawan. Syukur-syukur bisa diterima sebagai PNS (pegawai negeri sipil),’’ ungkap perempuan yang mengaku saat bekerja di Taiwan hanya bekerja di satu majikan tersebut.

Atin sadar, gaji yang diperoleh dari pekerjaannya sekarang, memang jauh dari apa yang didapatkan saat mengurus orangtua majikannya di Taiwan.’’Tapi di sini, yang penting ada pemasukan lancar. Bisa pengabdian. Dan yang lebih penting, dekat dengan orangtua. Saya pulang karena bapak-ibu sudah sepuh. Ingin merawat mereka,’’ terang Atin yang dulu merantau karena ingin membantu orangtuanya menyekolahkan adik-adiknya.

Selama bekerja di luar negeri, Atin memang berhasil membantu tiga adiknya melanjutkan pendidikan. Dua adiknya persis, telah menyelesaikan sarjana atau S1.’’Yang satu sudah jadi PNS di Dinas Perhubungan, di tempatkan di Kalimantan. Sedangkan yang satu menjadi guru, ngajar di STM. Adik saya dulu kuliah di UMY, sedangkan yang satu di UNS Solo. Yang terkahir masih kuliah di UMY,’’ kata Atin yang tinggal serumah dengan orangtuanya tersebut.

Atin mengaku, hasil jerih payahnya selama dirantau tidak digunakan untuk usaha. ’’Tidak ada bakat usaha. Keturunan dagang, ya tidak ada. Paling beli tanah, sebagian sawah dikelola orangtua, sebagian lainnya disewakan,’’ ungkap mahasiswa semester dua tersebut.
Selama bekerja di Taiwan, Atin mengaku tak pernah mengalami masalah dengan majikannya. Bahkan, majikannya menghargai Atin. Mereka menganggap Atin bukan sebagai pembantu atau pekerja.’’Mereka sudah menganggap saya sebagai bagian keluarga. Misalnya saat makan, makan bareng. Beberapa pelajaran yang saya dapat dari orang Taiwan adalah soal kedisiplinan dan semangat kerja yang tinggi. Mereka seakan tidak kenal waktu. Kalau kerja itu pengin cepat selesai, tapi hasilnya memuaskan,’’ jelas Atin yang mengaku bisa bahasa Taiwan tersebut.

Meski demikian, Atin tidak tertarik lagi kembali merantau. Saat ini, dia fokus memikirkan masa depannya. ’’Nggak tertarik lagi bekerja ke luar negeri. Ingin berumah tangga. Itu yang penting,’’ pungkasnya. (zul)

Kisah TKI Asal Bali Bergaji Puluhan Juta

Siapa bilang menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri selalu sulit? Banyak kisah yang menceritakan pengalaman sukses para TKI di luar negeri, dengan gaji yang melimpah dan jabatan yang prestisius. Inilah yang dialami oleh Made, pria asal Bali yang memiliki gaji puluhan juta rupiah per bulan.

Jabatan made tak main-main. Dia menjadi Manager House Keeping di Ephilia Resort di Kepulauan Seychelles. Malang melintang di dunia perhotelan, akhirnya Made 'terdampar' di pulau yang terletak di tengah Samudera Hindia yang sangat terpencil, dan jauh dari peradaban.


Saya bekerja di sini sudah 8 bulan," kata Made mengawali obrolan usai makan siang bersama rombongan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di resor tempat Made bekerja, Ehilia Resort yang terletak di pulau terbesar di Seychelles Island, Kamis (14/12/2011).

Tak tanggung-tanggung, dengan jabatannya sekarang, pria yang logat Balinya masih kental ini, mendapatkan gaji US$ 2.800 per bulan. Jika dirupiahkan, tiap bulan Made bisa merogoh kocek tak kurang dari Rp 25 juta. Jumlah gaji tersebut bisa utuh karena selama di Seychelles, Made mendapatkan fasilitas makan sehari tiga kali, serta tempat tinggal ditanggung oleh tempat dia bekerja.

Made diuntungkan dengan kondisi Seychelles Islands yang terpencil. Tidak ada mal dan pusat perbelanjaan di sini, sehingga gaji bulanannya tidak terganggu.
Tapi apakah kerasan kerja di sini? "Kerasan karena uangnya," jawab Made sambil tertawa bercanda.

Saat ini, Made membawahi ratusan house keeping di resor mewah tersebut. Bawahannya pun terdiri dari berbagai bangsa. Ada yang berasal dari India, Filipina, keturunan Arab, bule, dan juga ada warga negara Indonesia. 

Bicara soal tenaga kerja asal Indonesia di Ephelia Resort, total jumlahnya ada 7 orang, termasuk Made. Sisanya, satu orang asisten Made bernama Johan yang juga lahir dan besar di Bali, namun keturunan NTT. Sementara lima orang lainnya adalah para ahli spa asal Bali dan Yogyakarta, yang semuanya adalah perempuan.

Sebagai asisten Made, Johan gajinya juga menggiurkan. Pria yang yang pernah melalangbuana di beberapa hotel ternama di Indonesia dan Arab Saudi ini saat ini digaji USD 1.000 Per bulan. Gaji tersebut belum termasuk tambahan lainnya, seperti service charge yang jumlahnya bervariasi, rata-rata US$ 150 Per bulan.

Johan yang berpengalaman bertahun-tahun di bidang house keeping ini memutuskan untuk pindah ke Seychelles Islands lantaran kecewa dengan gaji di dalam negeri yang kurang bagus. "Untuk posisi seperti saya paling digaji Rp 4 juta," keluhnya.

Sementara para tenaga ahli SPA asal Indonesia digaji antara US$ 650-800. Meski lebih kecil dibandingkan dengan Made dan Johan, jika dibandingkan dengan gaji para spa terapis Indonesia, gaji 5 wanita ini masih tergolong tinggi.


Rahasia Sukses Nuryati Seorang TKI Yang Kini Jadi Dosen 

Pemerintah Arab Saudi memberikan penghargaan kepada Nuryati Solapari, mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW), yang saat ini bekerja sebagai dosen dan mengajar bidang hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang Motivator calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Nurhayati Solapatri termasuk orang yang cerdik. Wanita yang kini menjadi dosen Sultan Ageng Tirtayasa ini memberikan tips kepada para 100 calon TKI yang akan berangkat ke Taiwan dan Hongkong di Pusat Pendidikan dan Latihan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jakarta Selatan, Sabtu (11/6/2011). 



Nurhayati menceritakan ketika dirinya menjadi seorang TKI ke negeri Arab diawali keputusasaan sulitnya mendapatkan uang untuk biaya kuliah, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Banten dengan tujuan untuk bisa berkuliah. “Saya waktu itu ingin kuliah dan kemudian saya berfikir menjadi TKI,” kata ibu tiga anak ini. Pengalamannya tidak terlalu manis, PJTKI yang merekrut dirinya tidak memberikan pelatihan apa pun, sehingga Nurhayati harus belajar secara otodidak. “Saya waktu itu diberi sertifikat keahlian, tetapi sebenarnya saya tidak diberikan pelatihan,” ucapnya. Sadar bahwa budaya di Arab Saudi pasti berbeda dengan budaya di Indonesia, ia pun akhirnya banyak menggali informasi tentang budaya dari TKI-TKI yang pernah bekerja di Arab Saudi. “Saya selalu mencatat apa-apa yang penting dalam buku kecil. Jadi setiap ada sesuatu, saya selalu buka buku ajaib tersebut,” ungkapnya. Saat berangkat ke Arab Saudi tahun 1998, sebelum naik pesawat ia membeli sebuah jarum dan benang, sehingga saat di dalam pesawat ia menulis nomor-nomor penting yang ia bisa hubungi ketika dirinya nanti bermasalah di negeri orang. “Saya tulis dengan benang dan jarum tersebut nomor-nomor penting, sehingga kerudung saya isinya nomor telepon semua. Tetapi yang ditulis bukan nomor, tapi kode-kode supaya tidak dicurigai majikan nanti,” kenangnya. Ia pun menceritakan sebuah contoh perbedaan budaya antara Arab Saudi dengan Indonesia. ketika ia akan memandikan anak majikannya, tiba-tiba majikannya marah memarahi dirinya. “Kamu gila,” kata Nurhayati mencontohkan majikannya. tetapi dari kesalahan tersebut ia baru tahu, kalau di orang Arab ternya mandinya tidak setiap hari. “Waktu itu majikan saya meminta saya memandikan anaknya dua kali seminggu, senin dan kamis,” ucapnya. Selain itu, ia menceritakan kepada para calon TKI kalau di Arab wanita itu harus bersifat sinis kepada kaum pria. “Kalau wanita itu menjawab pertanyaan sambil senyum-senyum, itu akan diartikan wanita tersebut suka pada laki-laki yang menanyanya,” cerita Nurhayati Tujuannya yang jelas saat menjadi TKI, membuat Nurhayati selalu bekerja dengan target, bahkan ia pun sengaja membawa buku-buku pelajaran di SMA-nya ke Arab Saudi. Sehingga ia bisa bekerja diperantauan sambil belajar kembali ilmu-ilmu yang pernah diajarkan di bangku sekolah. Sehingga saat ia kembali ke Indonesia dengan berbekal modal uang jerih payahnya menjadi TKI selama dua tahun. Ia pun mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. “Kemudian saya masuk universitas negeri, dan bisa lulus 3,5 tahun dari jurusan hukum,” ucapnya. Ia memberikan pun memberikan cara bagaimana supaya uang gaji menjadi TKI tidak habis. Menurutnya uang yang gaji dari majikannya harus selalu diambil tiap bulan, jangan dinanti-nantikan karena hal tersebut yang mengakibatkan majikan tidak membayar gaji TKI. Kemudian uang yang diterimanya ia kirim ke kampung dan dibelikan sawah sebagai lahan investasi. Tidak berhenti sampai sana perjuangannya, ia saat kuliah pun membuka katering dan tetap bekerja di sebuah restoran untuk membiayai kuliahnya. Sehingga usaha kerasnya tersebut sekarang membuahkan hasil, dengan gelar S2 yang disandangnya, ia pun menjadi dosen di universitas tempat dirinya menimba ilmu yang memberinya gelar sarjana. Dari cerita Nurhayati, mungkin kita bisa belajar sebuah arti kehidupan. Seorang TKI bisa menjadi orang yang sukses dan mewujudkan impian kita. “Pokoknya kalau jadi TKI jangan pernah berniat untuk jadi Tki yang kedua kali, cukup satu kali. Sehingga saat menjadi TKI kita harus mempunyai tujuan,” ucapnya. Pemerintah Arab Saudi memberikan penghargaan kepada Nuryati Solapari, mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW), yang saat ini bekerja sebagai dosen dan mengajar bidang hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten. Penghargaan diberikan langsung oleh Wakil Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, Majed Abdulaziz Al-Dayel. Acara pemberian penghargaan berlangsung di Kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Selasa (28/12), dan dihadiri oleh Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Abdulwahid Maktub, sejumlah pejabat kedutaan, dan Nuryati beserta keluarganya. Dalam sambutannya, Al-Dayel mengatakan di tengah cerita sukses yang dialami ribuan TKI di negaranya, terdapat pula kasus khusus yang dialami sebagian TKI akibat tindakan yang dilakukan segelintir majikan mereka.