Kisah ini ditulis oleh Agil Abdullah Al Batati.
Lahir 1960.
Senang baca, nulis, humor, diskusi, catur, bola, badminton, film, musik, makan enak, bicara blak2an.
Cinta orang jujur & berilmu.
Pernah di Fak Sastra & Bahasa Inggris.
Punya nama alias Engkong Ragile dan Kopral Kenthir, Alamat: Jakarta.
Semoga tulisan ini berguna untuk kita semua
Melihat hamparan taman pemakaman umum yang begitu indah dan asri yang terbayang adalah liang kubur yang lapang, bersih, rapi. Tapi, duh kagetnya saya!!! Yang nampak justru liang kubur yang begitu jelek, sempit, asal gali, dan berserakan sisa-sia tanah liat bekas paculan. Wah ini sih kekecilan untuk almarhum yang akan menempati liang kubur. Karena saya tahu beliau berbadan tinggi-besar. Dalam hati ingin protes kepada penggali kubur tapi urung. Akh, bukan tanggung jawabku. Salah omong nanti runyam deh.
Pengin tau apakah dugaanku benar bahwa liang kubur terlalu pendek untuk almarhum yang sedang dalam perjalanan dengan ambulan. Ini kisah nyata kira-kira Juni tahun 2005 di TPU Rawamangun Jakarta Timur. Salah satu sahabatku meninggal dunia. Dia kaya tapi, maaf, terkenal kikir dan kejam.
Segera saya menempatkan diri di sebelah kuburan, mengambil tempat agak tinggi agar kedua mataku dapat menangkap dengan jelas proses penguburan dari mulai mayit di keluarkankan dari keranda hingga diistirahatkan di dalam liang kubur dengan sempurna.
Sirine ambulan memasuki taman pemakaman. Ratusan orang turut ziarah, hampir semua lelaki. Jantung berdegub ketika keranda mayit dikeluarkan dari ambulans. Wajah-wajah serius berdesakan mendekati liang kubur. Kain hijau berhias tulisan Arab disibak dari keranda. Mayit terbungkus kafan putih dikeluarkan dari keranda. Jantungku berdegub kian kencang. Mayit jelas-jelas berbadan besar tinggi. Malah terkesan lebih tinggi-besar setelah meninggal. Oh… akan muatkah dimasukkan ke dalam liang kubur yang nampak kekecilan? Oh…. DAG DIG DUG… DAG DIG DUG… Duh, cemas!!! Baru pertama kali liat seperti ini.
Diiringi doa dan seruan puja-puji kepada Allah, mayit pelahan dibopong empat orang. Lalu diserahterimakan kepada tiga orang yang telah berdiri di dalam liang kubur. Tak sadar mataku dipanteng melotot, punggung sedikit membungkuk untuk menyaksikan lebih dekat. Dan, ya ampuuuun… kepala mayit sudah mentok ke dinding tapi kedua kaki mayit menggantung kira-kira 20 derajat dari landasan. Liang kubur kekecilan!!! Duh, masa sih beli tanah 2×1m untuk peristirahatan terakhir nggak mampu?
Oh, My God. Kedua tanganku saling mendekap, kaku, bertanya-tanya apa yang akan terjadi kemudian: Akan diangkat kembali mayit dan minta penggali bekerja kembali untuk memanjangkan liang kubur? Ataukah…? Oh, My God, apa yang akan ku saksikan? Ini mayit orang kaya yang rumahnya bagaikan gedung dengan 20 kamar tidur, 25 toilet, taman bermain, dan kolam renang. Masa sih beli tanah 2×1m untuk peristirahatan terakhir nggak mampu?
Oh, lihat…. Lihat… Kaki mayit ditekan-tekan ke bawah oleh lelaki paling kiri di liang kubur. Dipaksa-paksa. Ditekan, gagal. Ditekan lagi, gagal lagi. Ditekan lagi, masih gagal. Geser sana. Geser sini. Tekuk sana tekuk sini, Oh…. Oh, kasihan….. Lalu ditekan lagi dengan kuat. Uuuggghhhh!!!! Blesekkk!!! Blesss!!!
Hemmm, akhirnya mayit berhasil dibenamkan ke liang kubur. Tapi mengenaskan. Sepintas Nampak baik kepala maupun telapak kaki seperti ditanam ke dinding liang kubur. Untunglah liang kubur dari tanah liat agak lembek, pas musim hujan. Bayangkan kalau dari beton? Bisa remuk tuh kepala dan kaki.
Sementara jamaah sibuk menutup mayit dengan papan kayu disusul menguruk dengan tanah, degub jantungku berubah haluan. Dari cemas menjadi geli. Ya, benar-benar geli. Rasanya ingin ngakak terpingkal-pingkal. Maklum baru pertama kali liat ada mayit kakinya dipaksa-paksa lurus ke landasan karena liang kubur kependekan. Bagian kepala sudah nyungsep koq kaki masih nyangkut di dinding? Orang kaya koq kuburannya kependekan dan kesempitan sampai susah dimasukan ke dalam liang? Kenapa yach?
Ternyata bukan Cuma saya. Beberapa yang lain mengedipkan mata beri isyarat akan keganjilan kuburan tersebut. Usai penguburan sebagian kawan ngumpul. Entah siapa yang memulai tersibaklah memory dengan almarhum. Yang sering teringat bahwa almarhum galaknya minta ampun, bicaranya kasar dan kejam, dan bangga dengan prilakunya itu. Menurutnya itulah tanda orang yang tegas. Tapi musuhnya banyak, hampir tak ada sahabat yang betah menjadi sahabat karibnya. Semua teman hanya mitra usaha dan urusan sosial. Sama anak buah pelitnya minta ampun.
Terus ingat kejadian dulu :
- Dia cerita pernah mengakibatkan seorang ibu tewasj antungan, tak tahan dicecar olehnya siang-malam untuk mencari anak si ibu yang punya perkara dengannya.
- Dia bilang ketika ngejar-ngejar utang, “Biar aja dia mau nipu/ngrampok Cina, asal bayar utang sama saya.”
- Ketika memarahi anak buahnya yang lancang, “Biar aja si A sama si B bunuh-bunuhan yang penting harta saya aman.
- Kalau Anda punya perkara uang dengannya maka dia akan melibatkan semua anggotakeluaga Anda untuk turut tanggung jawab materiil, walaupun tidak tau apa-apa.
- Kalo berkongsi usaha dengannya siap-siaplah untuk memikul rugi sendirian karena dia maunya ikut untung doang.
- Menurut dia penertiban umum di jalanan harusnya dimulai dengan semburan peluru “Dor! Dor! Dor!” ke batok kepala anak-anak jalanan agar mereka benar-benar sirna dari jalanan.
Entahlah… kalau ingat dia saya kadang merinding, mengelus dada. Juga kasihan karena dia sudah naik haji beberapa kali dan rajin mengadakan pengajian akbar saben bulan atas biaya sendiri. Apa mungkin dalam pikirannya yakin bahwa kegiatan agama yang hingar bingar mampu melenyapkan dosa-dosa kekejamannya? Entahlah… apakah liang kuburnya yang jelek , sempit dan sulit menampung jasadnya punya hubungan sebab-akibat dengan perilakunya ketika masih hidup?
Dan apakah saya berdosa ketika di dalam hati sempat ngakak menyaksikan proses penguburan yang begitu menggelikan? Semoga almarhum diampuni semua salah-dosanya oleh Allah.
Salam tuljenak,
Agil Abdullah Al Batati