Seorang pejabat negara baru-baru ini melontarkan pernyataan menarik: “Indonesia bukan negara agama.”
Bukan sekali ini saja pejabat tersebut melontarkan pernyataan sinis seperti itu. Beberapa bulan sebelumnya, ia juga melontarkan pernyataan senada hanya gara-gara masyarakat memprotes lurah yang diangkat di lingkungan mereka beragama berbeda dengan kebanyakan orang di sana.
Fakta sejarah memang membenarkan komentar sang pejabat. Indonesia memang bukan negara agama.
Keinginan masyarakat Muslim Indonesia untuk menegaskan bahwa negara ini akan baik, bila masyarakat Muslim diperkenankan menjalankan syariat Islam secara utuh dimentahkan dengan peristiwa Piagam Jakarta 50 tahun silam.
Jadilah Indonesia negara yang tidak berdasarkan pada agama tertentu. Sebagian orang bahkan secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler.
Jika memang demikian, rasanya tak sulit bagi kita untuk memahami mengapa sejak zaman dahulu perjuangan kaum Muslimah untuk sekadar menutup aurat saja sulit sekali. Padahal, menutup aurat adalah perintah Allah SWT yang hukumnya wajib. Perintah itu tertulis jelas dalam al-Qur`an dan kitab-kitab Hadits.
Kita belum lupa peristiwa di era 80-an ketika para pelajar dan mahasiswi berjuang penuh air mata untuk bisa mengenakan jilbab. Di era berikutnya, giliran pegawai pemerintah dan swasta yang harus berjuang menegakkan cita-cita yang sama.
Alhamdulillah, perjuangan panjang kaum Hawa ini berbuah hasil. Allah SWT membukakan pintu hidayah kepada para pengambil keputusan di negeri ini sehingga mau menerima jilbab sebagai pakaian sekolah, kuliah, kerja, bahkan pakaian dinas pemerintahan. Benarlah kata Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwa apabila Allah SWT berkehendak, maka Dia akan mengubah kesusahan menjadi kemudahan.
Kini, peristiwa serupa melanda jajaran kepolisian. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada akhir November lalu mengeluarkan Surat Telegram yang berisi penundaan (moratorium) penggunaan jilbab bagi polis wanita (polwan). Padahal, semula Kapolri telah memberi izin para polisi Muslimah itu menjalankan syariat agamanya.
Tak perlu kita berkecil hati dengan keadaan seperti ini meski perjuangan akan memakan waktu berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, sebagaimana dulu sejarah pernah mencatat. Sebab, memang demikianlah Allah SWT berkendak.
Andai Allah SWT mau, sangat mudah bagi-Nya membolak-balikkan hati para petinggi kepolisian –termasuk tentara—agar mau menerima jilbab sebagai pakaian resmi kemiliteran. Tapi, Allah SWT belum berkehendak untuk itu.
Jadi, wahai kaum Muslim, khususnya kaum Hawa di negeri ini, teruslah berjuang dengan cara-cara yang benar untuk menegakkan syariat Allah SWT. Biarkan pena-pena malaikat terus bergoyang-goyang mencatatkan amal perjuangan kalian untuk bekal menghadap Sang Khaliq di Hari Berbangkit kelak, meski begitu lelah kalian memperjuangkannya. Wallahu a’lam.