BAGI Christantiowati, jurnalis National Geographic Traveler-Indonesia, laut adalah tempatnya menemukan kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala. Itu bisa dirasakan saat menyelam. Ketika menyelam, hanya tarikan napas sendiri beserta gelembung udaranya yang terdengar. Gravitasi seakan terhenti ketika di hadapan kita lewat ikan-ikan dengan bentuk dan warna yang unik.
Perempuan yang sering mengikuti ekspedisi pribadi itu seakan menemukan surge di dalam laut . Disana, ia bisa bercengkrama dengan jenis Hiu jinak seperti Wobbegong shark, Hiu karpet. Jenis Hiu yang merupakan satu dari sekian ratus species Hiu jinak.
“Kita bisa mengelus-elusnya. Ini pas aku menyelam di Nusa Penida, Bali, 2003. Warnanya menyamar dengan warna terumbu karang. Salah satu anugerah Tuhan agar ia mudah menyamar kala menunggu mangsa,” ulasnya sembari menunjukkan foto Hiu Karpet.
Di laut pula, di sekitar dermaga Pulau Pantara, Kepulauan Seribu, Jakarta, ia bisa menonton gerombolan ikan ekor kuning berenang. Gerakannya seakan menari. Cantik sekali. Kekagumannya pada biota laut makin bertambah saat Ia berkesempatan melihat Ikan Pari Manta.
“Panjangnya bisa sampai 5 meter,” terangnya tentang ukuran Pari terpanjang yang Ia temui di Raja Ampat, Papua.
Ia begitu takjub dan kemudian berpikir. Biota laut yang dilihatnya pastilah memiliki pencipta. Penciptanya tiada lain adalah Allah Subhanahu Wata’ala.
Berteman dengan Maut
Datangnya pencerahan dan kesadaran terhadap siapa pencipta manusia dan semesta alam, terkadang tak tertebak. Dari pengalaman bersinggungan dengan maut, Christ justru mendapat hidayah itu.
Pengalaman pertama di Sangalaki, Pulau Derawan, Kalimantan Timur, 2004. Waktu itu Christ bersama teman-temannya sedang berada di tengah laut. Air laut yang tenang tiba-tiba berubah menjadi pusaran yang berputar cepat.
Ada puting beliung didalam laut atau Closet Ball Current. Sejago apapun teknik menyelam seseorang, jika tak hati-hati Ia akan ikut terseret pusaran air. Christ terpisah dari teman-temannya. Apalagi. kaki Katak-nya lepas sebelah.
Pelan-pelan Ia berenang menjauh. Hanya bisa berserah diri pada Allah.
“Aku pasrah. Mungkin ini adalah akhir hidupku,”ucapnya membatin. Namun, gelombang membawanya ketepian pantai. Ia selamat sampai ke darat.
Bersinggungan dengan kematian kembali dirasakannya ketika penyelaman di Bunaken, Sulawesi Utara. Cobaan terbesar dimulai ketika Ia dan rombongan beranjak pulang ke dive centre untuk mengganti tabung untuk penyelaman ketiga hari itu. Tanpa aba-aba, badai tiba-tiba bertiup. Boat segera merapat lagi ke pulau dan lego jangkar dan mereka menunggu sekitar dua jam sampai badai cukup mereda. Perjalanan pulang yang mendebarkan dengan beberapa kali perahu nyaris terbalik.
“Bulan Mei itu Bunaken umumnya cerah, hanya ada 2—3 hari yang kadang bercuaca buruk. Dan kami datang saat tidak tepat,”terangnya.
Tahun 2006 Christ merasakan kembali betapa rahmat Allah begitu besar. Saat itu Ia sedang mengikuti Sensus Badak Bercula Satu (Javan Rhinocerus) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Beserta rombongannya, Ia berpikir bahwa persediaan air di dalam hutan melimpah karena saat itu sedang musim hujan. Prediksi salah total. Hutan kering kerontang sedang persediaan air sedikit. Mereka kehausan dan sudah hampir tidak bisa berdiri tegak. Badan terasa sangat lemas karena terus berjalan disamping memiliki kewajiban mencatat jumlah populasi Badak.
Untuk bertahan, mereka memakan pohon Liana. Ada bagian dari pohon itu bisa diambil airnya untuk diminum.
Atas interaksinya yang sering menantang maut, perempuan yang menyenangi kegiatan luar ruang itu akhirnya merasa sudah seharusnya ia kembali terhubung dengan Sang Pencipta.
“Gimana kalau aku mati dalam keadaan tidak beriman?”tanyanya khawatir. Pikiran itulah yang selalu dibawanya pulang sampai ke Jakarta.
Aku Memenuhi Panggilan-Mu, ya Allah!
Terlahir dari orangtua Kristiani, Christ dibesarkan dengan pemahaman bahwa semua agama adalah sama. Ia bahkan dibolehkan memeluk agama yang ia yakini benar. Islam sudah tidak asing lagi baginya. Sebab nenek beserta keluarga besarnya adalah Muslim.
“Di rumah milih agama enggak masalah. Sampai SMP aku Sekolah Minggu di gereja dan juga shalat meski cuma tiga kali sehari,”katanya.
Baru pada 1987, menginjak SMU kelas 3, anak pertama dari tiga bersaudara itu memutuskan hanya Islam yang dipeluknya. Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Menteng, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu atas peristiwa penting itu.
Walaupun ia mengakui jika selama ini di kedalaman laut sering memperoleh ketenangan, tapi ia merasa ada ketenangan tertinggi yang ingin diraihnya. Yakni mendekat pada Allah Subhanahu Wata’ala melalui berbagai ibadah. Termasuk dengan umroh dan ibadah Haji.
Tahun 1996 untuk pertama kalinya Christ pergi Umroh. Berikutnya, mulai 2011, berturut-turut setiap tahun ia berkesempatan menjejakkan kakinya di depan Ka’bah. Ketenangan yang tak terperikan mengalir dalam kalbunya ketika pada 2012 ia berkesempatan Umroh di 10 hari terakhir Ramadhan. Baru pada 2013 ini, Christ menjadi bagian dari jamaah Haji.
Ada yang menarik, dalam setahun ia bisa mengeluarkan uang sampai Rp 40 juta cuma untuk beli peralatan menyelam dan melakukan perjalanan. Setahun sebanyak 5-6 kali ia melakukan perjalanan besar penyelaman.
Bagi Christ dirasakan ada surga yang ditemuinya di kedalaman laut. Namun, ia mengaku tetap merasakan sensasi berbeda ketika berada di Tanah Haram.
“Menyelam itu menyenangkan tapi beribadah ke tanah suci jauh lebih menyenangkan,”ungkapnya.
Diakhir pertemuan ketika ditanya soal pendamping, Christ yang November ini berusia 45 tahun, mengatakan, Ia menyerahkannya pada Allah. Jika takdirnya mendapat suami berusia lebih muda, Ia pun akan berbesar hati. “Yang penting shaleh dan bisa bimbing aku, Ri,”ucapnya sembari sesekali menunduk, tersipu malu.