BAHAYA RADIKALISME AGAMA













Aksi Teror Anders Behring Breivik di Negara Norwegia telah mencoreng kelembutan dan kasih-sayang ajaran Kristen. Agama yang banyak dianut warga di seluruh dunia ini, merupakan Agama yang mengajarkan penganutnya memberikan pipi kiri ketika pipi kanannya ditampar. Tetapi bagi seorang Anders Behring Breivik tidak begitu memahami ajaran Kristus. Sebagai anggota Kristen Fundamentalis, Anders Behring Breivik, tentunya tidak menyukai keragaman hadir di Norwegia.


Selain pernah aktif di Partai Progress, partai sayap kanan anti-Islam dan Marxis, pemuda berusia 32 tahun ini, telah merencanakan aksi terornya sejak 2009. Buktinya, ditemukan dokumen sebanyak 1.500 halaman yang berisi alasan kenapa aksi teror yang menelan korban 94 orang tewas dan 97 orang luka-luka itu terjadi. Dalam sebuah dokumen itu, tertulis, “untuk pertama kalinya saya cukup lama berdoa. Saya menjelaskan pada Tuhan, bahwa kalau Dia tak ingin muslim dan marxis bersekutu mengambil alih Eropa…Dia harus memastikan pejuang berperang untuk mempertahankan kemenangan umat Kristen Eropa.” (Tempo, 25/07/11).

Di dalam buku Reformasi Sufistik (Jalauddin Rakhmat, 2002: 60-61), diceritakan bahwa ketika B.J Habibie menjadi ketua ICMI, berdatangan wartawan dari media Barat dan bertanya, “Apakah Anda Fundamentalis?” Segera setelah itu, berita di media Barat melaporkan kemenangan kaum Fundamentalis dengan stigma negatif. Kini, ketika kita membincangkan fundamentalis di Indonesia, maka kesan yang hadir di benak ialah seorang muslim yang memelihara jenggot, jarang tersenyum, anti-pancasila, dan lekat dengan sebutan teroris.

Padahal, istilah fundamentalis lahir dari dunia Kristen Barat (1905-1915), yang diawali dengan diterbitkannya pembelaan pada dasar-dasar agama Kristen dalam dua belas risalah, yang diberi judul The Fundamentals. Risalah ini lahir dikarenakan pada akhir abad 19, para teolog liberal Kristen berupaya menafsirkan Alkitab hingga sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Kritik mereka terhadap otentisitas Bibel dicurigai telah melunturkan aspek kesakralan Alkitab. Maka di abad 20 lahir berbagai sekte di tubuh Kristen yang menolak paham liberal dengan mengajarkan bahwa seorang Kristen harus menerima otentisitas Bibel dan aspek-aspek keilahiannya.

Aksi teror di Norwegia merupakan bentuk kekerasan tak berperikemanusiaan atas nama agama. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan yang terdapat dalam dokumen rancangan – yang disebut oleh Anders Behring Breivik – sebagai revolusi. Istilah revolusi dengan sandaran doktrin kebenaran tunggal Agama seolah merampas praktik revolusi yang kerap dilakukan kalangan politik kiri (sosialis-marxis). Hal ini mengindikasikan adanya perubahan pola pikir (shift paradigm) dari kalangan fundamentalis agama. Di era keterbukaan informasi segalanya serba abu-abu, di mana ideologi dan gerakan praksis seolah bercampur dengan kalangan bersebrangan. Para penganut fundamentalisme Agama, seharusnya terbelakang dan tidak peka terhadap perubahan zaman; akan tetapi dengan kepiawaian mereka memanfaatkan sains dan teknologi mengindikasikan ada perubahan gerakan praksis. Kendati secara ideologis – seperti doktrin, faham kebenaran tunggal, keyakinan rigid, fanatisme – tidak berubah sama sekali.

Anders Behring Breivik, sang penganut fundamentalisme Kristen dan pengikut setia Partai Anti-Muslim dan Marxis ialah generasi ketiga yang mampu menguasai sains dan teknologi. Dia memiliki akun facebook, dengan menyantumkan informasi pribadinya sebagai seorang Kristen, konservatif, senang berburu, dan menyukai game komputer “World of Warcraft” dan “Modern Warfare 2”. Tetapi, dengan korban mencapai 200 orang (94 tewas, 5 hilang, dan 97 luka-luka) mengindikasikan doktrin kebenaran tunggal masih dipegang teguh seorang fundamentalis, seolah tak pernah hilang dalam dirinya. Sehingga, kesantunan beragama tidak pernah mendapatkan tempat di dalam aktus keseharian. Keangkuhan, kesombongan, dan cinta berlebihan terhadap keyakinan Agama telah memicu radikalisme laku ketika berinteraksi dengan si liyan.

Padahal dalam perspektif multikulturalisme, si liyan (the others) merupakan unsur terpenting keajegan realitas sosial di negeri yang terbuka dan demokratis. Maka, kesadaran mengakui si “liyan” adalah fondasi kehidupan sosial dalam menjalankan aktus kenegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, dan keberagamaan (A Munir Mulkhan, 2007). Melihat kondisi negara Norwegia yang damai, sejahtera, tingkat korupsi nol koma sekian, aneh bila masih ada menyisakan pemahaman fundamentalisme keagamaan, yang banyak melahirkan kekerasan radikal.

Muara kekerasan atas nama agama, disinyalir berasal dari keengganan individu melakukan dialog antarumat beragama. Kegiatan dialog antarumat agama (interreligious dialogue) maupun antarumat keyakinan (interfaith dialogue) di Norwegia belum menyentuh kesadaran warga akar rumput (grass root). Ini mengakibatkan toleransi hanya dapat diserap kalangan elit negeri. Sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi ajaran-ajaran radikal yang tidak menghendaki terciptanya harmoni.

Rigiditas pemahaman inilah yang memicu lahirnya kekerasan di negeri damai, sejahtera, multikultural dan multiagama itu. Keberlainan yang niscaya dimiliki bangsa-negara (nation-state) dipandang sebagai anomali sosial yang harus diberantas. Kekerasan, bisa muncul karena dibumbui doktrinasi agama, politik kekuasaan, dan perbedaan etnis. Dalam perspektif White Head, sebuah keyakinan doktrinal yang berasal dari Agama ternyata mampu memotivasi perilaku para penganutnya. Maka, ketika Agama dipahami sebagai ideologi yang Mahabenar, akan terjadi peminggiran terhadap penganut keyakinan tertentu atau Agama lain.

Tak heran jika kemudian muncul gerakan radikal yang mengakibatkan berjatuhannya korban jiwa sebagai “efek samping” dari gerakan fanatisme agama tertentu. The others dalam pemahaman penganut fanatis, ditempatkan di luar dan diidentikkan sebagai pemahaman sesat, buruk, jahat dan harus dibumi-hanguskan. Pemahaman fanatis seperti ini jika bermetamorfosa jadi keyakinan rigid mengancam harmonitas hidup. Mereka berkeyakinan bahwa pemahamannya baik, suci-bersih, dan harus dilestarikan dengan cara bagaimanapun.

Bagaimana dengan realitas keagamaan di negeri ini. Saya pikir setiap agama apa pun – Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu – berpotensi melahirkan para penganut fanatis fundamentalisme agama. Tak salah apabila Buya Syafi’i Maarif mengatakan bahwa yang harus diperangi itu ialah praktik radikalisme agama yang akan menimpa agama-agama di dunia. Termasuk Agama yang diakui di bumi tercinta, Indonesia. Mari perangi radikalisme agama dengan mempraktikan hidup toleran, yang mengakui pluralitas pemahaman dan keyakinan.