PAHIT GETIR BERDAKWAH DIPEDALAM ACEH SINGKIL


Selain Kristenisasi, juga menghadapi tantangan alam dan makhluk halus. Butuh pembinaan untuk para muallaf.

Wajahnya kelihatan lelah. Tapi sontak berubah saat diajak bicara soal dakwah. Tema yang satu ini selalu menggairahkan buat Teungku Jamaluddin. Dakwah adalah bagian penting dari hidupnya. “Saya telah menganggap dakwah sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari hidup saya. Dengan dakwah, saya ingin memperoleh tempat yang layak di sisi Allah Ta’ala,” katanya.

Pahit getir sudah dirasakan Jamaluddin dalam menjalankan tugas agama ini. Berbagai cobaan datang silih berganti, namun ia tetap istiqamah pada jalur hidup yang telah dipilihnya.

Jamaluddin adalah dai senior. Pasca Tsunami menerjang Aceh tahun 2004, ia sudah aktif berdakwah di barak-barak pengungsi berbagai lokasi pengungsian. Kini, ia bertugas di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara. Tepatnya di Desa Napagaluh, Kecamatan Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil. Ia bertugas di Napagaluh dikirim oleh Dinas Syariat Islam Aceh sejak lima tahun lalu.

Bersama istri dan anaknya yang masih kecil, lulusan Pondok Pesantren Babussalam Matangkuli, Aceh Utara ini tinggal di sebuah gubuk berukuran 4 x 5 meter. Ia menjalankan dakwahnya dengan menggunakan sepeda motor dari satu desa ke desa lainnya di pelosok Aceh Singkil. Saat ke desa-desa, ia harus mendaki satu bukit ke bukit lainnya dengan kondisi jalan terjal dan bebatuan. Namun kondisi itu tidak membuat ia malas berdakwah.

Jamaluddin bercerita, dalam suatu perjalanan dakwah bersama istrinya pada tengah malam, tiba-tiba motornya terpelanting akibat jalannya licin. Mereka pun jatuh. Syukur lukanya tidak terlalu parah. Istrinya hanya luka lecet-lecet.

Tak hanya tantangan alam yang dihadapi Jamaluddin, makhluk halus juga pernah menyerang istrinya. Itu terjadi pada awal ia bertugas di Napagaluh. Pada tengah malam, tiba-tiba saja istrinya lari-lari kesurupan. Bukan hanya sekali, serangan seperti itu terjadi berkali-kali.

Rupanya gangguan seperti itu tidak hanya menimpa istri Jamaluddin. Dai yang lain juga mengalami serangan serupa, dan bahkan dalam bentuk yang lain. “Kawan saya ada yang sampai menderita batuk darah,” katanya.

Semua tantangan itu dihadapinya dengan ketabahan dan kesabaran. “Saya anggap itu cobaan dari Allah SWT atas dakwah yang saya jalankan. Saya pasrah dan saya serahkan hanya kepada Allah SWT,” tegasnya.

Cahaya Islam

Di tengah beratnya tantangan dakwah seperti itu, Jamaluddin melihat prospek cerah di Aceh Singkil. Sejak ia bertugas di daerah ini, sudah banyak orang Kristen yang masuk Islam. Salah satunya sebuah keluarga Katolik di Dusun Sigarap, Desa Sikoran Kecamatan Danau Paris. Keluarga ini memutuskan masuk Islam pada 27 April 2013. Mereka adalah Tias Mida Br Sitorus (60), Rika Maria Br Malau (21), Reno Josep Malau (21), Romiana Maria Br Malau (11) dan Rikki Neysyen Josep Malau (6).

Jamaluddin menceritakan, mereka masuk Islam karena melihat adanya keseragaman umat Islam dalam beribadah. Misalnya ketika datang ke masjid semua berbusana yang sama dengan memakai mukena putih sehingga menghilangkan perbedaan antara kaya dan miskin. Islam juga melarang umat menampakkan aurat kepada orang lain.

Selain itu, menurut mereka, masih cerita Jamaluddin, Islam sangat selektif dalam memilih makanan. Setiap makanan harus bersih dan suci, sehingga hal ini membuat banyak umat Islam yang “bercahaya” wajahnya. Saat beribadah, setiap Muslim diperintahkan untuk bersuci.

“Dan yang paling mereka suka ketika melihat umat Islam datang ke masjid, mereka diwajibkan membuka sepatu dan sandal demi menjaga kesucian rumah Allah,” tambah Jamaluddin.

Setelah mensyahadatkan satu keluarga ini, Jamaluddin berupaya mencari rumah kontrakan untuk keluarga muallaf tersebut.

Sebelumnya, Jamaluddin juga sudah mensyahadatkan banyak pemuda Katolik. Mereka saat ini dititipkan di dayah (pondok pesantren) di beberapa wilayah di Aceh untuk mendapatkan pendidikan Islam yang intensif. Salah satu yang menampung muallaf ini adalah Dayah Mahyal Ulum di Kecamatan Sibreh Aceh Besar, Dayah Markaz al-Islah, dan beberapa dayah lainnya.

Menurut Jamaluddin, mereka kekurangan biaya pendidikan karena hingga saat ini pemerintah Aceh Singkil belum memiliki program untuk membantu muallaf. Salah satu muallaf itu, Dahrin Brasyah (19). Kini, dia belajar di Pondok Pesantren Mahyal Ulum Aceh Besar.

Jamaluddin sering mencari cara untuk membantu remaja-remaja muallaf dengan menghubungi pimpinan-pimpinan dayah di Aceh Besar dan Aceh Utara yang siap menampung para muallaf usia sekolah.

“Alhamdulillah, sudah banyak perkembangan selama saya berdakwah di sini,” kata Jamaluddin.

Banyak anak-anak Muslim sekarang sudah pandai membaca al-Qur`an dan menjalankan ibadah. Menurut Jamaluddin, jumlah Muslim di Aceh Singkil hanya sekitar 20 persen, 70 persen Nasrani, dan sisanya animisme (menyembah roh leluhur).

Perlu Kerjasama

Jamaluddin menyadari kurangnya pembinaan, khususnya bagi para muallaf. Setelah mereka masuk Islam, pemerintah tidak menyediakan program khusus untuk pembinaan muallaf. “Padahal mereka seharusnya bisa dipersiapkan untuk memperkuat dakwah di perbatasan di masa yang akan datang,” terang Jamaluddin.

Aceh Singkil dan Subulussalam memang sangat rawan dengan Kristenisasi. Beberapa wilayah di dua kabupaten ini telah didominasi oleh warga Kristen pribumi yang sebelumnya beragama Islam, maupun warga Kristen yang berasal dari Sumatera Utara dan telah menjadi warga tetap di daerah itu.

Menurut Jamaluddin, umat Islam seharusnya tidak hanya mengirim para dai. Tapi juga menampung warga yang sudah menjadi muallaf, dalam sebuah lembaga pendidikan. “Misalnya dengan mendirikan pesantren khusus bagi mereka, mengingat pengetahuan Islam bagi mereka harus diberikan dari dasar,” katanya.

Solusi lain, masih kata Jamaluddin, kirim mereka ke pesantren-pesantren yang sudah ada, tetapi anggarannya ditanggung oleh Pemerintah Aceh, Kemenag, maupun oleh baitul maal.