PERJUANGAN AHMAD NUR SHOLEH DI GUNUNG SINDUR


Bermodal nol dan pernah dianggap sebagai kelompok radikal. Kini, masyarakat mendukungnya.

Hati Ahmad Nur Sholeh gundah. Perjuangannya mencari lahan baru untuk membuka pesantren tak kunjung datang. Padahal, dia telah berkeliling Bogor, Jawa Barat. Rasa gundah gulana itu makin membuncah kala dia melihat kelima santrinya harus tinggal terlantar tanpa tempat tinggal. Lelaki yang akrab disapa Ahmad ini hampir saja putus asa. Di sepertiga malam, kala dunia disergap senyap, dia menengadahkan kedua tangannya seraya mengadu kepada Allah.

“Ya Allah, ini urusan-Mu, bukan urusanku. Hamba tak kuasa menanggungnya. Maka selesaikanlah,” ratapnya dalam sebait doa dengan berlinang air mata.

Esok harinya, Ahmad bergerilya dengan sepeda motor bututnya. Dia berharap, doa itu akan terijabah hari itu juga. Motor tuanya melaju kencang tanpa tujuan yang jelas. Dia mengikuti ke mana kedua rodanya berputar. Yang ada di pikiranya hanya satu: hari itu dia harus mendapat lahan. Benar saja. Tak begitu lama, tiba-tiba handphone-nya berdering. Telepon dari Ustadz Karyadi, yang juga pernah menjadi gurunya ketika menimba ilmu di Pesantren Hidayatullah Cilember, Bogor, Jawa Barat.

“Kabarnya Ustadz sedang mencari lahan untuk pesantren?” Tanya Karyadi yang juga hafal al-Qur`an ini di ujung telepon.

“Betul Ustadz. Sudah beberapa hari ini, namun Allah belum kunjung memberi jawaban,” katanya.

“Kebetulan ada seseorang yang mewakafkan lahannya di pelosok kaki bukit Gunung Sindur. Tapi, agak jauh. Apa Ustadz siap?” tanyanya lagi.

“Insya Allah. Saya sam’ina wa atha’na (kami dengar dan kami taat-red), Ustadz!” jawab lelaki murah senyum yang juga telah hafal al-Qur`an ini tanpa ragu sedikit pun.

Tahu doanya diijabah hari itu juga, Ahmad senang bukan kepalang. Bibirnya tak henti mengucap tahmid. Allah mendengar doanya. Hal itu memperkuat keyakinannya bahwa Allah itu dekat dan selalu membantu hamba-Nya yang selalu menolong agama-Nya. Saat itu juga, dia memulai episode perjuangan yang penuh suka dan duka. Kisah nyata itu berlangsung pada Februari 2010.

Dari Nol

Lahan seluas dua ribu meter yang terletak di Jalan Betet I Kampung Kebon Kopi Desa Pengasinan, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat itu kosong. Yang ada hanya pohon singkong dan rumput. Ahmad bingung, karena tidak ada tempat untuk menampung anak asuhnya. Satu-satunya jalan adalah harus mengontrak rumah. Kebetulan, tak jauh dari tempat itu ada rumah kosong. Rumah cukup besar itu kata pemiliknya selalu ditinggalkan pengontrak karena ada hantunya.

“Namun, setelah kami tempati dan dibacakan al-Qur`an ternyata tidak ada yang ganggu,” ujarnya.

Harga sewanya Rp 300 ribu per bulan. Ahmad pun menyicilnya karena tak ada uang. Setelah itu, dia dan kelima santrinya saban hari menggarap lahan yang di sampingnya dipenuhi pohon dukuh itu untuk dijadikan pesantren. Rerumputan ia tebas. Gundukan tanah ia ratakan. Tak ada alat modern. Yang ada hanya cangkul, sabit, dan golok. Meski demikian, ia dan kelima santrinya tetap bersemangat. Yang ada di benaknya hanya satu: pesantren.

Di awal perintisan, tak ada beras yang dimakan. Yang terjadi kemudian seperti kata pepatah, ‘tak ada rotan akar pun jadi.’ Maka singkong pun akhirnya menjadi pengganti nasi. Hal itu terjadi cukup lama. “Masa awal perintisan benar-benar sangat menguji kesabaran,” terangnya.

Di sela-sela aktivitas perintisan itu, Ahmad mengajar ngaji masyarakat setempat. Beberapa majelis taklim ia bentuk. Anak-anak warga sekitar juga diajari bahasa Inggris oleh santrinya yang telah pandai. Semuanya gratis. Kiprah Ahmad makin dirasakan masyarakat dan tak sedikit yang berterimakasih serta mendukungnya.

Seiring kesibukan merintis dan dakwah, Ahmad harus segera mendirikan rumah. Ia lalu menyuruh tukang untuk membuatkan gubuk dengan pembayaran dicicil. Gubuk berbilik bambu dan beratap daun ilalang itu akhirnya terwujud. Semua santri pindah. Lagi-lagi, karena belum ada uang, pembayaran sempat telat beberapa bulan. Tukangnya sempat berkali-kali menagih utang.

Dicurigai

Belum genap dua bulan, pesantren yang oleh Ahmad diberi nama Pesantren Yatim Ruhama itu tiba-tiba didatangi salah seorang tokoh masyarakat beserta polisi. Tanpa alasan jelas, mereka langsung menggeledah pesantren. Setiap sudut diperiksa dan Ahmad diinterogasi. Ia dianggap kelompok radikal, karena berjenggot dan memakai gamis panjang.

Ternyata, hal itu berdasarkan laporan seorang tokoh masyarakat yang tidak suka dengan pesantren. Debat panjang terjadi. Penjelasan panjang lebar Ahmad tidak membuahkan hasil. Mereka tetap tidak percaya. Di tengah-tengah situasi panas itu, datanglah seorang tokoh masyarakat yang lain. Dia salah satu pendukung pesantren. Dengan tegas, dia menolak tuduhan tak berdasar itu. Mereka akhirnya pun percaya dan pergi.

Beberapa pekan selanjutnya, ketika shalat Jumat, tokoh masyarakat yang mendukung pesantren itu menjadi khatib Jumat. Dia menyindir habis-habisan pelaku yang telah menuduh pesantren.

“Kita ini umat Islam. Tapi anehnya, kalau orang kafir masuk ke tempat ini dipermudah. Sedangkan kalau ada orang Islam datang dan mengajarkan al-Qur`an justru dipersulit. Mau jadi apa desa ini?” kata Ahmad menirukan tokoh itu.

Tokoh yang disentil tampak mendengarkan sambil kepalanya tertunduk malu. Berkat hidayah Allah, ia akhirnya berbalik menjadi pendukung pesantren. “Alhamdulillah, kini dia dan semua masyarakat mendukung pesantren,” terangnya.

Pertolongan Allah

Kala Ahmad diuji dengan kelaparan, pertolongan Allah kembali hadir. Bermula dari seorang direktur sebuah rumah sakit di Jakarta. Saat itu, dia sedang memancing di tempat pemancingan tak jauh dari pesantren. Warga setempat memberitahukan ihwal pesantren yang diasuh Ahmad kepadanya. Penasaran, dia lalu berkunjung sembari memberi bantuan. Direktur tersebut terenyuh dengan kondisi anak yatim yang memprihatinkan.

Sepulang dari pesantren, dia lalu mengundang salah seorang karyawan kepercayaannya untuk diamanahi membantu pesantren. Setali tiga uang dengannya, kala mengunjungi pesantren itu, hatinya terketuk bahkan tak kuasa menitikkan air mata. Dia pun bertekad, di sisa usianya itu ingin mengabdikan dirinya ke pesantren. Dia langsung bergerak mulai dari mempromosikannya ke para karyawan dan koleganya di tempat dinasnya.

Dan, berkat pertolongan Allah pula usahanya berjalan mulus. Satu persatu banyak dermawan yang turut membantu pesantren. Kini, saat gubuk bambu itu mulai rapuh dan roboh, pembangunan asrama cukup megah yang bernilai ratusan juta rupiah itu sedang berlangsung. Semoga istiqamah.