Risna, bukan nama sebenarnya. Gadis berkulit sawo matang, berkaca mata minus 1.5 dan berwajah manis itu kelihatan sangat bahagia. Matanya berkaca-kaca dan penuh senyum, kala berfoto bersama keluarga usai acara wisuda sarjana di gedung AAC Dayan Daud, Darussalam pada tanggal 14 Mai 2011. Ia salah satu dari 1.465 lulusan Unsyiah yang diwisuda hari itu.
Kegembiraannya dan ribuan lulusan lain, seakan menghapus semua perasaan lelah saat belajar, menyelesaikan tugas akhir (skripsi) sebagai persayaratan seorang sarjana. Iatampak seperti tidak membayangkan bagaimana nanti setelah ijazah sarjana yang terpegang erat di tangan bisa digunakan untuk merubah kehidupannya menjadi perempuan yang mandiri. Risna, bukanlah berasal dari kalangan ekonomi yang mapan, ia hanya dari keluarga yang pas-pasan. Ia perlu merubahnya menjadi lebih sejahtera. Artinya ia harus segera mendapatkan pekerjaan sebelum nanti disunting orang. Karena biasanya ketika sudah disunting orang, sementara pekerjaan belum ada. Lazimnya bila baru jadi sarjana dan langsung menikah, ia akan dihadapkan dengan sebuah dilemma rumah tangga, sudah tidak sempat lagi mencari kerja dengan ijazah yang sudah di tangan, akan tetapi keburu harus merawat diri sendiri karena hamil dan harus merawat anak. Akankah ia bernasib sama seperti ribuan sarjana yang kini terkubur dalam pengangguran?.
Berkisah soal perempuan yang terkubur menjadi penganggur, mengingatkan penulis pada seorang perempuan, sebut saja namanya Ira, lulusan jurusan sejarah FKIP di sebuah Perguruan Tinggi swasta di kota Banda Aceh. Berangkat dari kampungnya di Aceh barat Daya, untuk study Banda Aceh, sayang tidak lulus di Universitas Negeri dan akhirnya memilih kuliah di sebuah Universitas Swasta. Berharap setelah lulus dari kuliah di FKIP bisa diangkat menjadi guru yang berstatus PNS. Namun, keberuntungan belum memihak kepadanya. Usai kuliah dan diwisuda menjadi sarjana, ia mencoba ikut tes PNS berkali-kali, namun belum pernah bisa lulus, karena berbagai alasan. Padahal. Ia sudah lama mengabdi sebagai tenaga honor di salah satu sekolah yang sering hanya makan angin, karena honor yang diterima tidak setimpal dengan waktu, tenaga dan bekal ilmu yang sudah dipunyai. Walaupun hanya mendapat honor sedikit, setidaknya masih ada harapan untuk diangkat menjadi PNS yang sudah lama menjadi cita-citanya. Ketika ditanya, mengapa harus dan mau bekerja sebagai tenaga honorer, jawabnya karena tidak bisa yang lain dan juga karena ingin menjadi PNS agar dapat jaminan hidup.
Berbeda dengan Rani, gadis berperwakan cantik, yang masih kelihatan sarjana baru ( fresh graduate ) FKIP, jurusan matematika ini, lelah ikut tes PNS, memilih melamar dan lulus bekerja di bank, sebagai cashier. Tentu masih lumayan, karena tamat kuliah sudah dapat pekerjaan dan bisa kerja di bank, sebagai pekerjaan yang dianggap bergengsi, walau hanya sebagai kasir. Sayangnya, ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang digelutinya semasa kuliah, sedikit lari dari rencana awal ingin jadi guru matematika. Inilah kenyataan yang dialami oleh ribuan bahkan jutaan lulusan perguruan tinggi di negeri ini. Banyak yang tidak relevan antara ilmu yang digeluti di universita dengan pekerjaan di dalam masyarakat. Seperti sia-sia belajar sekian lama menekuni sebuah ilmu, lalu ketika bekerja ilmu itu tidak sesuai dengan pekerjaaan.
Beginilah realitas produk dunia pendidikan kita di Indonesia sekarang, penuh dengan ironi. Bayangkan saja, bertahun-tahun lamanya waktu terbuang , berjuta-juta uang ludes dan entah berapa banyak energi yang habis untuk meraih gelar sarjana, namun setelah selembar ijazah dan IPK yang gemerlap ada di tangan, ujungnya hanya menjadi sarja pencari kerja., bahkan penganggur. Idealnya, bisa membangun lapangan kerja sendiri. Bukan mengejar, berburu jadi PNS melulu. Kalau bukan PNS, belum dianggap bekerja.
Begitu memilukan elegi sarjana baru yang dilahirkan oleh Perguruan Tinggi, Negeri dan Swasta di negeri ini akhir-akhir ini. Mereka setiap tahun diwisuda menjadi sarjana yang bukannya mampu menciptakan pekerjaan sendiri, tetapi hanya sebagai sarjana pencari kerja. Hanya bisa mennati kaapan lowongan PNS dibuka. Sayangnya, modal untuk buka lapangan kerja sangat terbatas, bukan hanya uang, tetapi juga ilmu pengetahuan, ketrampilan dan juga relasi. Apa yang akan terjadi bila setiap tahun sarjana terus dilahirkan dalam keadaan yang tidak berkualitas?.
Membaca berita tentang kegiatan wisuda di beberapa universitas, menambah gusar hati kita. Dua beerita mutakhir memaparkan bahwa universitas Almuslim (Unimus) Peusangan saja telah melahirkan 8.826 sarjana, lalu tahun ini Universitas Syiah Kuala juga baru saja mewisuda sebanyak 1.465 orang dari berbagai fakultas di perguruan tinggi tersebut pada periode Februari-April 2011 ini saja, sementara jumlah lulusan Unsyiah sebelumnya masih ribuan yang berstatus pencari kerja. belum lagi sarjana-sarjana yang dicetak oleh Universitas lain seperti Muhammadiyah, Mailkulsaleh dan lain-lain, jumlahnya sangatlah besar. Apalagi secara nasional, maka jutaan lulusan perguruan tinggi lahir. Data tenaga kerja tahun 2009 menurut Bappenas menyebutkan, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia dalam daftar angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta atau sekitar 22,2 persennya adalah pengangguran, yang didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas 2 juta orang. Cukup besar bukan?.
Besarnya jumlah lulusan Universitas negeri dan swasta di Aceh dan Indonesia, membuat para sarjana harus bersaing super ketat. Maka, tantangan terbesar mahasiswa saat ini dan ke depan adalah menghadapi persaingan di dunia kerja yang semakin tinggi. Di sisi lain, mahasiswa dihadapkan pada sebuah dilema bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai dunia kerja. Demikian dikatakan Konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) Daya Dimensi Indonesia, Aditia Sudarto, dalam diskusi bersama media bertema "Siap Hadapi Tantangan Dunia Kerja dengan Pendidikan Berfokus Karir" yang digelar oleh INTI Indonesia di Jakarta, Kamis (18/2/2010) sebagaimana diberitakan Kompas.com.
Menurut anggota Komisi XI DPR, Kemal Azis Stamboel menilai, di Jakarta, menyebutkan, angkatan kerja di Indonesia mengalami pertambahan yang besar setiap tahun. Tahun 2011 ini saja diperkirakan mencapai 3,4 juta orang. Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2011 mencapai 8,12 juta orang atau menurun 470 ribu orang dibandingkan Februari 2010 yang sebanyak 8,59 juta orang. Penurunan ini belumlah signifikan. Jumlah pengangguran ini belum termasuk penganggur yang berpendidikan di bawah satjana dan Diploma. Kenyataannya berdasarkan data BPS, pada Februari 2011 pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah sebesar 55,1 juta orang (49,53%) dan SMP 21,22 juta orang (19,07%). Sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 3,3 juta orang (2,98%) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana sebesar 5,5 juta orang (4,98%).
Nah, dapat dibayangkan bahwa dengan semakin membludaknya lulusan uiversitas yang berkapasitas serba tanggung, yang hanya mengandalkan IPK tinggi, dan tidak aplikatif, membuat mereka semakin sulit bersaing dalam merebut lapangan pekerjaan di dalam masyarakat. Para sarjana baru itu akan semakin lelah menenteng ijazah sarjana yang dipegang, karena untuk mendapatkan sebuah pekerjaan tidak sedkit orang yang mengandalkan sejumlah uang pelicin agar bisa lulus dan diterima menjadi PNS. Terbukti, kapasitas yang dimilikinya tidak menjamin bisa bekerja.
Ketika, mereka tidak mampu bersaing beredbut dunia kerja dengan objektif, pilihan yang terbaik adalah memilih pekerjaan apa adanya, yang penting dapat kerja, walau tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dilalui. Bukan hanya itu, ujung-ujungnya mereka mejandi penganggur intelek tanggung. Lebih parah lagi sarjana yang perempuan. Mereka sangat mudah terkubur sebagai penganggur dan kembali ke dapur, sebagaimana kebanyakan perempuan lain yang selama ini diposisikan pada posisi sumur, dapur kasur. Ironis bukan?
Agaknya, masalah meningkatnya jumlah lulusan dan angka pengangguran di Aceh dan di tanah air, harus segera diatasi. Kalau tidak ini akan menjadi bom waktu, yang tiba-tiba meledak menjadi persoalan sosial.Mengatasi masalah pengangguran intelektual di Aceh dan di Indonesia, tidak seperti membuat jingle iklan di pasar kerja atau job fair. Mengurangi angka pengangguran diperlukan kerja keras, bukan hanya pemerintah, tetapi juga para pencari kerja sendiri. Kita berharap agar pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan mengembangkan sector-sektor kerja selain PNS dengan menyiapkan regulasi yang bisa menjamin ketersediaan lapangan kerja. Semetara, para sarjana pencari kerja, harus berupaya membangun kapasitas diri dengan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk bekerja. Sekaligus, merubah cara pandang yang PNS sentris ke bisnis oriented, menciptakan lapangan kerja sendiri. Tentu saja, Universitas jangan hanya bisa menelurkan sarjana-sarjana kacangan yang akan terkubur dalam dunia pengangguran.
Bila ini dilakukan bersama, maka kita akan mampu mengolah segala sumber daya alam yang kita miliki untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, serta membangun kemandirian ekonomi daerah. Sehingga, pemerintah daerah tidak perlu selalu berteriak memanggil para investor dari luar negeri untuk mengeksploitasi semua sumber daya alam kita. Mari kita mulai perubahan itu, agar tidak terkubur menjadi penganggur. Pasti bisa, asal mau.