FANATISME DAN PEMAHAMAN AGAMA














FE­NO­ME­NA fa­na­tis­me ber­le­bih­an ter­ha­dap sua­tu ke­ya­kin­an a­khir-akhir i­ni tam­pak menjadi perhatian publik karena turut menyumbang kepada perilaku menye­rang/membunuh antar pe­­nganut. Justifikasi tindakan agresif pun sering dikemuka­kan pelaku kekerasan de­ngan mengemukakan alasan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa me­­nginginkan hal tersebut. “Tu­han Yang Mahaperkasa meng­­inginkan saya melakukan pembunuhan ini, demi mereka yang tertindas.” Begitu kira-ki­ra jawaban pelaku ketika ditanya mengenai sebab-sebab ia melakukan penyerangan ter­hadap penganut lain.


Kata fanatisme sering dihubungkan dengan funda-mentalisme. Kedua istilah itu memang tampak seperti sepa-sang saudara kembar, tetapi sebetulnya berbeda. Fanatisme lebih melukiskan perilaku atau pikiran yang sulit berubah kare­na tidak mengizinkan me­kanisme kritis terhadap apa yang diyakini, kemudian ditu­angkan dalam sikap antitole­ransi. Adapun fundamentalisme merupakan suatu keadaan berteguh terhadap apa yang di­pahami sebagai pedoman da­sar (kitab suci, misalnya) sebagai fundamen/fondasi hidup. Jika harus memberikan penilaian positif dan negatif, fundamentalisme secara logis ki­ranya bukanlah merupakan suatu yang negatif se­perti yang dipikirkan kebanyakan orang. Setiap insan boleh dan berhak berpegang teguh terhadap apa yang ia yakini sebagai kebenaran sejati dalam hidup. 

Tidak ada salahnya menggu­nakan sebuah pedoman dasar hi­dup/kitab suci secara konsis­ten. Yang tidak tepat sesungguh­nya ialah ketika dalam memegang teguh pedoman dasar itu se­seorang menunjukkan emosi berlebihan yang merusak (kebencian, kemarahan, bahkan kedengkian yang membakar) ter­hadap mereka yang dianggap ‘berseberangan’/tak sepemahaman/tidak sekeyakinan. Sebagai ilustrasi, dalam penjelasan di berbagai agama, membunuh pun tidak dibenar­kan jika didasarkan oleh kemarahan dan kebencian yang membakar. Itulah yang disebut sebagai fanatisme berlebihan. 

Fanatisme berlebihan dalam ber­agama mencapai puncak­nya ketika diwujudkan dalam perilaku konkret yang memba­ha­yakan orang lain, seperti pe­­rusakan dan kekerasan ber­da­rah penuh kemarahan terha­dap penganut lain. Padahal, iro­­nisnya, nilai dasar yang di­­­junjung setiap agama perta­ma kali (sebelum masuk ke wi­layah aktivitas ritual) adalah kemuliaan, keharmonisan de­ngan alam, kasih sayang kepada se­lu­ruh makhluk (termasuk bi­natang dan tumbuh-tumbuhan), dan keluhuran sikap da­lam menanggapi problema kehidupan. 
Pada ajaran Islam, misalnya, etika perang yang perlu dijunjung sebelum melakukan perlawanan terhadap ‘musuh yang zalim’ yaitu cara dan tu­ju­an perangnya jelas dan mulia, ingin membela dan melindungi diri dari kejahatan; hanya melawan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil; harus be­rhenti berperang bila lawan telah menyerah dan memilih da­mai; melindungi tawanan pe­rang dan memperlakukannya secara manusiawi; memelihara lingkungan seperti tidak membunuh binatang tanpa alasan, mem­bakar pohon, merusak ta­nam­an, mencemari air dan su­mur (Syekh Ali Jumu’ah dalam Shihab, 2009). Hal itu menunjuk­kan penetapan kehar­monisan alam dan kasih sayang kepada makhluk lainnya seba-gai prioritas utama aktivitas pe­rang, yaitu menghancurkan penjajah itu sendiri. 

Tidak sedikit di antara pe­la­ku aksi kekerasan yang berbasis fa­na­tisme berlebihan terhadap keyakinan/agama mengabai-kan nilai luhur yang dijunjung ajaran agamanya sendiri. Kon-di­si tersebut, menurut para pe­mu­ka/tokoh agama, relatif disebabkan oleh kekurangpa-haman secara komprehensif me­ngenai hakikat spiritualitas dalam keagamaan itu sendiri. Hakikat spiritualitas itu, jika di­telusuri sampai ujung pang-kalnya, memiliki satu misi, yak­ni berusaha menciptakan kea­daan dunia agar menjadi le­bih baik, bukan menjadikannya sebagai tempat eksploitasi dan perusakan. 

Hasil penelitian dan penga­matan di lapangan oleh para prak­tisi bidang kekerasan berlandas keyakinan/agama terten­tu membuktikan bahwa kekurangpahaman kebanyak an pelaku aksi akan hakikat spiritualitas dalam ajaran aga­ma­nya terbentuk secara garis be­sar melalui dua kondisi. Pertama, si pelaku yang berlatar be­lakang sekolah agama ter­kondisikan sejak kecil untuk belajar agama dengan konten yang tidak terlalu berfokus pa­da nilai luhur yang dijunjung ajar­an agama tersebut. Ia lebih menekankan pada penegakan atur­an dan pelaksanaan kegiat­an ritual. Selain itu, pelajaran agama diperkenalkan pertama kali sedikit banyak dengan dibarengi oleh stimulus negatif, seperti ancaman dan kekerasan fisik. 

Sebagai contoh, ritual sem-bah­­yang diperkenalkan per-ta­ma kali bukan sebagai kebutuhan seorang manusia untuk berbincang dari lubuk hati yang paling dalam dengan Tuhannya; untuk bersungkur dan mengakui bahwa ia bukanlah makhluk yang berkuasa, mela­inkan sebagai aturan agama yang jika tidak dilaksanakan akan menuai hukuman dan siksaan fi sik pada yang bersang-kutan. Pada kondisi pertama, si pelaku juga terbiasa untuk patuh secara buta kepada satu guru saja sehingga tidak terla-tih untuk memiliki daya pikir kritis jika suatu saat sang guru dapat pula berbuat kesalahan karena ia masih merupakan seorang manusia. 
Kedua, si pelaku yang tidak berlatar belakang sekolah aga­ma dan justru baru saja belajar aga­ma sehingga mengalami fase euforia. Si pelaku, dalam hal ini, mengalami suatu ‘sensasi pencerahan’ yang luar bia­sa yang dinilainya sebagai momen puncak yang amat sa­­ngat berharga. Maka itu, ia mau melakukan apa pun agar berguna. Sama halnya dengan pelaku yang berada di kondisi pertama, pelaku di wilayah kondisi kedua ini juga menang­gal­kan daya pikir kritisnya dan me­nyerap secara bulat-bulat ajar­an sang guru yang menjadi inspirator utama yang mengubah hidupnya. Ia kemudian ingin melakukan revolusi, yaitu sebuah perjalanan drastis dari ‘nobody’ menjadi ‘somebody’. Karenanya, tak mengherankan jika ia perilakunya sehari-hari berubah secara dramatis (seperti mendadak ber­sikap tertutup terhadap orang­tua, melakukan kajian aga­ma di tengah malam bersama rekan-rekan secara eksklusif, dan mengantarkan guru agama ke tempat tertentu). 

Pelaku di kondisi kedua memang tidak memiliki pilihan lain selain ‘bereuforia’. Se­kolah nonagama tempat ia be­lajar selama ini memang bukanlah tempat yang ideal untuk mempelajari agama. Jangankan mempelajari tafsir dan latar belakang turunnya setiap ayat dalam kitab sucinya, jumlah pelajaran agama yang hanya 2 jam seminggu pun tergolong kurang memadai untuk dapat menguasai seluruh aturan dan etika dasar ajaran agama yang menjadi pedoman hidupnya. Dengan begitu, keberagamaannya hanya terbatas pada karena orangtuanya memeluk agama tersebut. ‘Agama leluhur’ begitu kira-kira potret kasarnya. Yang bersangkutan mengikuti apa yang dianut oleh orangtuanya tanpa mengetahui seluk beluk menge­nai apa yang dianutnya. 
Selanjutnya, sudah menjadi konsekuensi logis ketika me-nemukan ‘guru baru’ yang menjadi inspiratornya, ia men-dadak menjadi militan yang patuh dan menggebu-gebu dalam mengikuti ajaran sang guru. Apalagi jika sang guru dipandangnya telah menye-lamatkan dirinya dari kondisi yang sulit karena faktor kondisikeluarga, seperti ayah dan ibu yang tidak terlalu memberikan teladan yang baik, keluarga yang kurang begitu harmonis, keterancaman, keterkucilan, dan keterzaliman. 

Demi mencapai penerapan akan nilai luhur ajaran agama yang dianut, yang ditunjukkan oleh kemuliaan bersikap yang sarat dengan keteladanan, bukan kemarahan dan kedeng-kian yang membara, orang pun bahkan tertarik untuk menda-lami agama tersebut. Kiranya pemahaman agama sejak dini diperlukan secara massal di masyarakat yang heterogen ini. Pemahaman agama yang dimaksud ialah pendidikan agama yang menyentuh hakikat ajaran agama yang penuh keluhuran nilai, dengan jumlah jam yang cukup dan isi materi yang berkualitas, yang komprehensif dalam menggambarkan kemuliaan akhlak,dengan guru yang berwawasan tinggi, meng i­zinkan kritik, dan memiliki ke­bi­jaksanaan yang menjadi front line-nya, serta menjadi tempat konsultasi bagi anak didiknya jika sewaktu-waktu di­perlukan. 

Pemahaman agama yang baik sejak masa anak-anak diharapkan akan mengurangi risiko seseorang mengalami fase euforia yang berlebihan (yang cende­ru­ng destruktif) dan kepatuhan buta pada satu guru saja, yang nantinya menyulut pada fanatisme berlebihan. Dalam hal ini, perasaan euforia yang menjadi katalisator munculnya perilaku-perilaku yang melam-paui batas dapat diminimalisasi karena yang bersangkutan te-lah melakukan ‘perjalanan pan-jang’ dalam mengeksplorasi ke-beragamaannya dari berbagai sumber/guru sehingga relatif teruji oleh waktu. ‘Tidak norak lagi’, begitu kira-kira ekspresi ba­hasa jalanannya yang dipa-hami anak-anak kita di sekolah sa­at ini.