Politisi Hong Kong Ikut Memperjuangkan Nasib TKW


800 BMI di depan KJRI Hong Kong untuk menuntut ketidakadilan

Wanita atau kaum ibu identik dengan “kasur, dapur dan sumur.” Tapi itu dulu, sekarang jaman sudah berubah dimana kaum wanita baik masih remaja maupun yang sudah menjadi ibu-ibu banyak yang turun ke dunia kerja.

Saya ingin menulis tentang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang kebanyakan adalah kaum ibu. Mereka rela meninggalkan anak dan suami untuk berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama dengan jarak yang lumayan jauh. Merantau ke luar negeri demi satu tekad yaitu “untuk menghidupi keluarganya.” Memang mereka punya suami, tapi mengingat kebutuhan yang terus meningkat dengan harga yang tidak bisa diajak kompromi, mereka memilih untuk ikut bekerja mencari nafkah untuk membantu mencari penghasilan suami.

Tak bisa dipungkiri, saat para Ibu (istri) ini bekerja di luar negeri sang suami di rumah malah enak-enakan main selingkuh dengan wanita lain menggunakan uang hasil jerih payah istrinya. Sedih dan miris.

Minggu, 12 Februari 2012, 800 Buruh Migran Indonesia (BMI) yang kesemuanya adalah wanita, calon ibu dan para ibu mendatangi KJRI Hong Kong untuk menuntut hak-hak sebagai pekerja yang telah dirampas oleh agen dan pemerintah. Sebagai wanita dan saat saya masuk kedalam barisan, ada rasa trenyuh dan haru dalam hati saya. Membayangkan anak-anak mereka dirumah, keluarga mereka dikampung halaman kira-kira sedang apa. Yang perlu dan patut diacungi jempol adalah “keberanian” mereka untuk berontak menuntut atas ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini.

Tidak ada raut wajah takut disini, tidak ada yang merasa paling berani atau paling pintar. Semua adalah sama dan memiliki tujuan yang sama pula yaitu ingin bebas dari ketidakadilan yang sudah lama membelenggu para BMI kususnya di Hong Kong. Mungkin pemerintah atau para pejabat itu mengganggap para BMI mudah diatur untuk mengikuti kebijakan ini itu yang mereka buat. Tapi kenyataannya adalah TIDAK. Selama peraturan dan kebijakan itu dirasa merugikan BMI, perlawanan akan kami lakukan.

Contoh nyata adalah Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang sampai detik ini masih membuat resah para BMI bukan saja BMI Hong Kong tapi juga para BMI di negara lain. KTKLN yang katanya gratis nyatanya tetap saja para BMI harus merogoh kocek sendiri untuk membayar asuransi, padahal setiap BMI sudah punya asuransi di negara penempatan kerja. Saat BMI berdialog dengan KJRI, ada seorang BMI dari NTB bercerita bahwa butuh waktu 6 hari untuk mengurus kartu hantu ini. Bayangkan, padahal cuti hanya 10 sampai 14 hari saja. BMI NTB yang berasal dari Bima dan Sumbawa harus naik kapal ke Mataram untuk mengurus KTKLN, belum lagi mereka harus menginap, berapa uang yang harus keluar?

KJRI sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong tidak mengijinkan kontrak mandiri bagi BMI dan ini semakin membuktikan bahwa mereka lebih berpihak kepada agen dari pada BMI. Bagaimana tidak? Saat BMI ingin mandiri dengan melepaskan diri dari jeratan agen, pihak KJRI malah melarang dengan terus menginginkan para BMI berurusan dengan agen saat memperpanjang kontrak maupun pindah majikan. Dengan terus menerusnya BMI masuk ke agen, jelas ini sangat merugikan BMI karena para agen mengambil keuntungan dari BMI yang amat sangat besar dan yang diuntungkan hanyalah agen. Hanya pemerintahan yang isinya orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan golonganlah yang tidak mengijinkan dan menginginkan warganya untuk mandiri.

BMI diharuskan potong gaji selama 7 bulan berturut-turut yang nilainya hampir RP 25 juta. Tidak sedikit yang setelah selesai potong gaji dia diinterminit oleh majikannya, masuk ke agen lagi untuk mencari majikan, setelah dapat majikan gajinya akan di potong lagi sebanyak 5 bulan. Baru selesai potong gaji kadang dia diinterminit lagi, cari majikan lagi dan potong gaji lagi. Dan begitu seterusnya. KJRI tau akan hal ini, tapi anehnya tetap saja melarang BMI untuk mengurus kontrak mandiri dan terus mewajibkan BMI untuk masuk ke agen.


Lee Cheuk Yan, dengan bahasa kantonis ikut memperjuangkan suara BMI, 
anehnya tidak ada satupun pejabat KJRI yang mau turun


Lee Cheuk Yan, politisi yang mau turun ke lapangan menyalami dan membantu BMI menyuarakan ketidakadilan.

Saat demo tanggal 12 Februari 2012, Lee Cheuk Yan, politisi dan juga Sekretari JenderalHong Kong Confederation of Trade Unions (HKCTU) ikut serta dalam unjuk rasa. Lee Cheuk Yan berjanji akan membawa masalah yang dihadapi BMI ke pemerintah Hong Kong dan dia sangat mendukung BMI untuk bisa membuat kontrak mandiri. Seharusnya wakil pemerintah yang ada di Hong Kong dalam hal ini KJRI malu dengan salah satu anggota Legislatif Council (parlemen Hong Kong) dari labour party ini. Bagaimana seorang pejabat Hong Kong saja mau berbaur dengan para BMI untuk menuntut kebijakan-kebijakan yang dirasa sangat merugikan. Anehnya, tidak ada satupun staf dari KJRI yang mau turun untuk menjawab tuntutan BMI.

Tapi perjuangan para BMI tidak akan surut untuk terus menuntut keadilan dan menghapus kebijakan yang merugikan. Perjuangan terus berlanjut. Berharap mata hari para wakil di Hong Kong akan terbuka untuk mendengar keluh kesah BMI, membela BMI dan bukan agen dan PJTKI.
Halloo Para Pejabat RI, Contohin donk pejabat Hongkong yang peduli sama nasib para pekerja