Tenaga Kerja Wanita Indonesia Di Arab Saudi

Sebuah Balada TKW Asal Indramayu













Males temen nasib TKW, maksud ati pengen manggawe
Kanggo mbantu ekonomi keluarga
Mangkat kerja ning Saudi Arabia...
Bli digaji sampe taunan, awak rusak ilang kehormatan
Kaniaya nasibe wong ra duwe, nyawa TKW langka ragane....
Arep njaluk tulung ning sapa, Arabia jagate sapa
Yen wis inget wong ra duwe, rasa ngenes balik bli bisa
(Nasib TKW, Ciptaan Papa Irma)

Terjemahan:
Kasihan sekali nasib TKW, maksud hati ingin bekerja untuk membantu ekonomi keluarga berangkat kerja ke Saudi Arabia... tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak hilang kehormatan teraniaya nasib orang miskin, nyawa TKW murah harganya mau minta tolong pada siapa, Arabia dunia siapa jika sudah ingat orang miskin, rasa sedih tidak bisa pulang)

Lara sih lara, Gara-gara mboke bocah, Lunga ning Saudi Arabia, Kula ning umah mong-mong bocah....
(Duda Kepaksa, Ciptaan Iip Bakir)

Terjemahan: 
Sakit sih sakit, gara-gara ibu anak-anak, pergi ke Saudi Arabia, Saya di rumah mengasuh anak

TEKS di atas adalah petikan dari syair dua lagu bertemakan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Indramayu. Cobalah Anda melihat-lihat kios kaset di Pasar Indramayu. Di situ Anda akan menemukan kaset-kaset dangdut cirebonan dengan lirik berisi seputar nasib TKI. Karakter musiknya tersusun oleh inkulturasi antara musik tradisional Cirebon dan dangdut modern dalam beat mengentak. Di sebuah kios di Pasar Indramayu, ada sekitar lima kaset dengan masing-masing satu sampai dua lagu yang bertema TKI. Lirik lagu-lagu itu memaparkan sebuah fenomena sosial bertema TKI yang sangat memengaruhi tidak hanya kehidupan ekonomi, tetapi juga dinamika sosial kultural masyarakat Indramayu.

Sebagai sebuah teks, kedua lirik lagu itu tidak berdiri otonom, tetapi dilatari oleh konstruksi sosial kultural yang menjadi konteks dari teks tersebut. Stuart Hall, perintis cultural studies dari Birmingham School of Cultural Studies menegaskan bahwa sebuah teks dimaknai dalam tarik-menarik antara proses encoding dan decoding. Dalam proses encoding, kita akan memahami apa latar motivasi pembuat teks dan bagaimana konstruksi sosial kultural yang membentuk teks itu, sementara decoding akan menggiring bagaimana decoder menyusun makna. Dengan demikian, Hall meninggalkan tradisi Gramscian yang melihat pemaknaan teks dalam proses kekuasaan satu arah. Hall melihat bahwa teks hadir sebagai sebuah representasi sosial dan relasi antarkekuasaan.

Dalam khazanah pembahasan lirik lagu, konteks menjadi salah satu hal penting dalam memaknai lirik. Susan Donley (2001) melihat adanya keterkaitan yang kuat antara syair lagu dan realitas sosial. Dia membagi fungsi syair lagu menjadi tiga, yaitu fungsi literatur, fungsi dokumentasi sejarah, dan fungsi dokumentasi sosial. Fungsi literatur menekankan aspek tema dan pesan dalam syair. Fungsi dokumentasi sejarah melihat aspek tata nilai, kepercayaan, dan peristiwa dalam sebuah kurun waktu tertentu. Sementara fungsi dokumentasi sosial melihat aspek representasi tren, motivasi, dan pengalaman pembuat syair, serta untuk siapa syair itu dibuat.

Dari syair Imagine karya John Lennon, kita bisa memahami bagaimana latar politik Perang Vietnam. Demikian pula Song of Bangladesh yang dinyanyikan oleh Joan Baez bermakna sangat kuat sebagai sebuah deskripsi duka lara terhadap tragedi kemiskinan di Bangladesh. Syair opera-opera Giacomo Puccini pun sangat kental oleh konteks romantisisme aristokrat dan pertentangan kelas masyarakat Eropa abad ke-19. Lirik-lirik negro spiritual dibentuk oleh sejarah perbudakan di Amerika. Di balik syair Stasiun Balapan karya Didi Kempot juga tersimpan konteks besar di mana terjadi transisi peran dari perempuan Jawa yang domestik menjadi perempuan yang bepergian ke luar kota. Contoh-contoh di atas hanya ingin menegaskan betapa lirik lagu sangat tidak independen, tetapi saling tergantung dengan situasi sejarah aktual.

Berbeda dengan syair lagu Stasiun Balapan, syair-syair lagu rakyat dari Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya di atas punya pesan yang lebih gamblang. Stasiun Balapan hanya bercerita tentang perpisahan seorang laki-laki dan perempuan tanpa kejelasan tujuan kepergian perempuan itu. Ini berbeda sekali dengan lagu-lagu cirebonan di atas. Papa Irma, sang pencipta lagu, dengan sangat jelas menceritakan nasib para TKI lewat lagu Nasib TKW. Kelugasan muncul lewat frase "kanggo mbantu ekonomi keluarga" (untuk membantu ekonomi keluarga). Pemilihan kata ekonomi secara paradigmatis menyajikan pilihan tentang kejujuran sosial yang telanjang. Rasanya sulit sekali menemukan kata ini dalam banyak syair lagu di Indonesia. Padahal, ekonomi menjadi salah satu sumber masalah penting bangsa ini. Syair tentang kisah klasik tidak dibayarnya gaji para TKI karena dirampas para agen di luar negeri juga tidak menyediakan ruang konotasi sama sekali. Lihatlah frase "bli digaji sampe tahunan, awak rusak ilang kehormatan" (tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak kehilangan kehormatan). Bukankah frase ini sangat representatif terhadap kisah-kisah pilu TKI yang pada masa pemerintahan baru ini tetap saja kita dengar?

KONSTRUKSI sosial ekonomi masyarakat Indramayu pinggiran terbangun lewat basis ekonomi agraris. Akan tetapi, hamparan luas sawah dan posisi Kabupaten Indramayu sebagai penghasil 30 persen produksi beras nasional tidak terlalu terasa bagi penduduk pinggiran. Akar persoalannya adalah kepemilikan tanah. 30 persen masyarakat adalah tuan tanah, sedangkan 70 persen lainnya adalah buruh tani. Lihat saja Dusun Sudimampir, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Dusun ini sangat pekat oleh warna kemiskinan. Tidak ada pilihan bagi rakyat setempat untuk memilih profesi selain menjadi buruh tani. Dengan pola setahun dua kali panen, masyarakat harus hidup dalam roda sejarah yang senantiasa berbalut kemiskinan. Lagi pula untuk sekadar menyewa lahan pun mahal. Untuk menyewa tanah seluas satu bata (kira-kira 1.400 m2), mereka harus rela menyerahkan lima kuintal gabah kering hasil panenan, jumlah yang terlalu tinggi.

Di Balongan, tidak jauh dari Sudimampir, terdapat pabrik pengolahan minyak milik Pertamina. Pun bagi penduduk setempat, pabrik itu tetap saja asing. Cerobong asap hanya menyisakan kisah perubahan lahan pertanian menjadi kompleks pabrik.

Ceruk kemiskinan Sudimampir lebih terasa ketika kita menyusuri lorong-lorong kampung. Jalan-jalan tanah, orang tua yang sekadar duduk-duduk di depan rumah, anak muda laki-laki nongkrong di pojok kampung, kolam mandi dengan air kotor, orang tua laki-laki menambal ban sepeda tua karatan, semuanya menegaskan kisah kelu tentang kemiskinan yang terus merajut dalam sejarah masyarakat setempat.

Akan tetapi, semangat mempertahankan hidup menggurat garis sejarah baru. Garis itu dibuat oleh kisah para perempuan pemberani yang rela bekerja ke luar negeri meninggalkan sanak suami. Garis kisah itu mulai menggores sejak tahun 1997, ketika seluruh negeri terkoyak oleh badai ekonomi. Pun di Sudimampir, badai ekonomi itu membuat para wanita diliputi keberanian mengadu nasib.

Menjadi TKI adalah satu-satunya pilihan menuruti harapan perubahan nasib. Dengan membayar kepada "sponsor" (calo) sebesar Rp 1,5 juta, mereka berbondong-bondong mengadu nasib. Sebagian besar ke Timur Tengah. Gelombang ingar bingar migrasi pekerja itu kemudian meletakkan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu pengirim terbesar TKI di seluruh Indonesia.

Risikonya memang besar, tetapi prospeknya juga besar. Jejak-jejak keberhasilan itu tercetak dalam bangunan-bangunan baru yang mudah ditemukan di Kecamatan Sliyeg. Bangunan itu berbahan luar keramik dengan desain rumah modern. Mudah sekali membedakan yang mana yang dibangun atas kiriman uang TKI atau bukan. Rumah hasil kiriman uang TKI biasanya berwarna cerah: pink, biru muda, hijau, cokelat terang, dengan kombinasi warna yang jauh dari konsep serasi. Rumah-rumah itu menyimpan kontradiksi besar. Lantai keramik mengilat itu bercampur dengan bau comberan di belakang rumah. Dikelilingi oleh tanah kering, kandang kambing, dan comberan, rumah-rumah itu bagai tidak tumbuh dari tanah kultural setempat. Akan tetapi, itulah simbol kepahlawanan 25 persen dari sekitar 2.500 perempuan Sudimampir. Jumlah penduduk Sudimampir mencapai 5.000 orang lebih.

Jejak kisah TKI yang lain adalah kisah pilu kegagalan. Dani (23) harus pulang dengan patah tulang kanan karena disiksa oleh majikannya di Arab. Seorang laki-laki dari Sudimampir Lor yang bekerja sebagai sopir di Arab bahkan harus pulang tanpa nyawa dua bulan lalu. Untung saja dia bisa dikubur di kampung halaman. Wunersih (25) dari Dusun Tugu, tetangga Dusun Sudimampir, baru saja tiba di rumah tanggal 7 Desember 2004 lalu. Tujuan kepergiannya bulan April 2004 lalu adalah Yordania. Akan tetapi, agen di luar negeri mengirimnya ke Baghdad, Irak. Nasibnya sial. Majikannya menuduhnya mencuri uang sekitar Rp 12 juta hingga menyiksanya. Gajinya pun tidak dibayarkan. Ia berhasil melarikan diri setelah disekap di kamar. Di antara desingan peluru dan ledakan bom, Wunersih berjalan menyusuri pinggiran kota Baghdad. Sepanjang perjalanan itu ia harus meminta makanan di masjid-masjid yang ia temui. Akhirnya ia menemukan polisi yang kemudian mengirimnya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Irak.

Tanah Air ternyata tidak menjamin solidaritas sosial. Sampai di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, petugas meminta uang padanya untuk biaya perjalanan ke Indramayu. Ia memberi Rp 190.000. Sopir di jalan pun masih memintanya uang yang kemudian ia beri Rp 50.000. Belum cukup, paspornya sampai sekarang juga ditahan oleh petugas berseragam di Bandara tanpa alasan jelas. Semua identitas pribadi dalam paspornya juga tidak palsu. Para petugas itu mungkin tidak tahu bahwa ekspor tenaga kerja menghasilkan devisa bagi Indonesia rata- rata sebanyak 1,6 miliar dollar AS per tahun.

ANAK-anak dan laki-laki adalah subplot dalam kisah ini. Di jalan-jalan kampung Sudimampir, ada semacam becak berhiaskan naga merah disertai tape recorder yang selalu memutar lagu dangdut. Becak itu berisi sekitar sepuluh anak berusia di bawah dua belas tahun. Satu di antara anak-anak itu mungkin tidak pernah merasakan air susu ibunya. Biasanya anak-anak itu diasuh oleh nenek atau bibinya sepeninggal ibunya ke Arab Saudi. Jumlah anak-anak bernasib seperti ini ada sekitar 70 anak di Dusun Sudimampir. Kalau ayah dari anak-anak ini adalah ayah yang baik, ayah inilah yang mengasuh mereka selepas kerja menjadi buruh tani. Lagu Duda Kepaksa ciptaan Iip Bakir lagi-lagi dengan gamblang menceritakannya. Lara sih lara, gara-gara mboke bocah lunga ning Saudi Arabia. Kula ning umah mong-mong bocah....

Akan tetapi, penggalan syair itu hanya menceritakan sepenggal cerita normatif tentang laki-laki yang ditinggal istri. Itu adalah contoh suami setia yang setia mengasuh anak-anaknya. Selain mengasuh anak, yang setia ini biasanya berkumpul pada malam-malam tertentu sambil membakar ayam (mayoran). Mereka mendirikan "organisasi" bernama Ikatan Duda Arab (Idara).

Yang tidak setia punya dua pilihan: menghamburkan duit kiriman istri di diskotek dan/atau kawin lagi. Yang dimaksud dengan diskotek adalah semacam kafe remang yang memutar lagu-lagu dangdut. Karena tidak tahan ditinggal istri, para suami ini sering kawin lagi. Menjadi masalah kalau istri mudanya pun akhirnya menjadi TKI. Laki-laki semacam ini ini harus pandai mengatur waktu pulang istri tuanya agar tidak bertabrakan dengan jadwal kedatangan istri mudanya.

Diskotek rupanya menjadi fenomena menarik. Di pinggir- pinggir jalan tersembul kafe remang dengan bunyi musik dangdut disertai aksesori tawaran kenikmatan kedagingan. Perempuan menjadi sangat responsif karena pada Duda Arab ini biasanya berkocek tebal. Di sanalah duit kiriman istri akan berkecamuk dengan lampu remang, alkohol, dan lendir duniawi.

KEKUATAN representasi sosial dalam syair lagu-lagu rakyat Indramayu dibentuk oleh dua hal, yaitu realitas sosial itu sendiri dan tradisi kesenian yang kuat di masyarakat bawah. Di Kecamatan Sliyeg dengan mudah kita bisa menemukan beberapa kelompok drama rakyat yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Sutana (58), misalnya, pemimpin kelompok drama Mayang Sari, sudah bermain drama sejak tahun 1961. Kelompok drama ini masih hidup sampai sekarang meski sesudah 1997 relatif sepi tanggapan. Kisah-kisah yang biasanya dipanggungkan berasal dari tradisi penyebaran agama Islam, khususnya oleh Sunan Gunung Jati selain legenda lokal.

Ekspresi musikal rakyat setempat juga tinggi. Setiap aktivitas publik sekecil apa pun, pasti disertai oleh musik rakyat. Mendorong dagangan, mengasuh anak di becak, kredit keliling, semuanya disertai iringan musik. Kelompok organ tunggal juga bertebaran yang ditandai oleh puluhan papan reklame di pinggir jalan kecamatan.

Realitas sosial dan tradisi seni ini rupanya menjadi bahan bakar dasar dari produksi lirik lagu-lagu rakyat Indramayu. Harapan, duka lara, kegembiraan, dan keputusasan dalam lagu-lagu itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk jeritan dari mereka yang sering disebut pahlawan devisa, tetapi sampai pemerintahan baru ini pun tidak tertangani sebagaimana mestinya.
  • Senok... aja nangis... (Nak... jangan menangis...)
  • Kelangan mimi ya nok ya (Kehilangan ibu ya nak ya)
  • Sebab mimi lagi usaha (Sebab ibu sedang berusaha)
  • Sedelat maning arep teka (Sebentar lagi akan datang)

Oleh: R Kristiawan 
Peneliti di Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET),
Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta, dan Penyanyi Tenor

* Tulisan ini berdasarkan pada survei lapangan Yayasan SET pada awal Desember 2004*