TKI ku Sayang TKI ku Malang














Nasib pahlawan devisa adalah sebutan bagi TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia ) yg sampai kini belum jelas tentang hukum yang melindunginya. Adakah pemerintah melihat dan memperhatikan pahlawan devisa kita selama ini? Siapa yang akan menjawabnya………….!! kitakah selaku TKI/TKW atau pemerintah sebagai penyalur dan penerima devisa yang cukup besar bagi bangsa ini? 

Sungguh nasib tenaga kerja kita di luar negeri tak terlindungi oleh hukum yang benar-benar memperjuangkan serta melindungi bangsanya sendiri. Ketika tenaga kerja kita berada di luar negeri mencari kelebihan rezki dan membantu perekonomian keluarganya, banyak kita lihat di TV bahkan kita baca di media cetak, bangsa kita diremehkan bangsa lain, bangsa yang selalu kita agungkan dan kita bela dengan tumpah-darah ini mendapat perlakuan yang tidak manusiawi di luar negeri. 

Tengok saja beberapa kasus yang muncul, bangsa kita dihukum rajam di Saudi Arabia, TKI kita disiksa bangsa lain di luar negeri bahkan bangsa Malaysia ingin merampas produk kita, mulai dari kesenian seperti tari pendet, keris, Reog Ponorogo, batik dan yang lebih ngeri lagi ketika bangsa malaysia ingin mengambil pulau terluar dari Indonesia. Tapi mengapa bangsa kita tidak berontak? 

Justru bangsa kita berontak ketika terjadi demo di mana-mana, protes di mana-mana, maka pemerintah baru mulai angkat bicara. Kalau tidak………???? Ya adem dan ayem saja. Saya adalah mantan tenaga kerja Indonesia yang sudah mengenyam pahit dan manisnya merantau di negara Arab Saudi dan saya pun tahu persis situasi yang terjadi di negara sana. Banyak tenaga kerja kita yang mengalami penyiksaan secara fisik dari majikannya sehingga banyak pula yang mencoba kabur dan lari dari majikannya karena tidak tahan akan siksaan bahkan percobaan pemerkosaan serta tidak diberi gaji selama bekerja di sana, lalu ketika melapor ke konsulat kita di kedutaan besar Indonesia yang ada di sana justru hanya melapor dengan penanganan yang super lambat dari konsul kita. 

Filipina adalah Negara yang sama seperti kita juga yang mengirim tenaga kerjanya ke wilayah Arab Saudi. Tetapi ketika bangsa mereka mengalami penyiksaan dan apapun bentuknya dari Negara kerajaan tersebut, kedutaannya secara cepat merespon situasi serta memprosesnya sehingga tak banyak kasus yang terjadi pada orang atau bangsa Filipina. 

Kita ingin mengambil contoh dari Filipina agar masyarakat Indonesia yang dikatakan sebagai pahlawan devisa tersebut dapat terlindungi. Mari kita lihat secara jelas bahwa Indonesia adalah pemasuk devisa terbesar pada pengiriman jemaah haji bagi Negara Saudi Arabia dan penyumbang devisa terbesar bagi Negara kita. 

Berikan perlindungan hukum bagi bangsa ini ketika berjuang membawa nama harum bangsa kita di mata dunia Internasional. Jangan hanya mengharap masukan devisa saja tetapi tak ada yang melindunginya, lihat saja sekarang di kolong jembatan bangsa kita berteriak minta tolong karena tak tahan akan penyiksaan yang dialaminya dan kiranya bangsa kita dapat membuka mata bahwa TKI / TKW kita membutuhkan bantuan serta pertolongan yang segera. 

Semoga kasus demi kasus dapat membuat kita menjadi mengerti akan pahitnya keadaan yang ada di luar negeri agar pemerintah pun tahu bahwa PAHLAWAN DEVISA membutuhkan perlindungan hukum. Selamat Hari Buruh Dunia….!!!


TKI - Hongkong
Negara kita dikenal sebagai negara dengan jumlah pekerja migran terbesar. Ada sekitar enam juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah itu, 70 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia ternyata tidak sebanding dengan nasib dan masa depan mereka sebagai pahlawan devisa bagi negara. Bahkan, mereka sering mendapat perlakukan tidak adil berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perlakuan kurang pantas yang dialami tenaga kerja kita mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pahlawan devisa kita. Potret ketidakdilan terhadap tenaga kerja kita yang mengadu nasib di luar negeri semakin menambah luka dan harga diri bangsa kita semakin terinjak-injak oleh bangsa lain.

Walaupun disebut sebagai pahlawan devisa, tenaga kerja kita belum mendapatkan perlakuan yang seimbang sesuai jerih payah mereka dalam mencari nafkah di negeri orang. Julukan semacam itu malah semakin memojokkan para pahlawan devisa kita dengan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan majikan mereka. Beberapa kasus kekerasan yang meliputi penyiksaan fisik maupun mental telah mewarnai perjalanan buruh migran kita di luar negeri.

Di Malaysia, cerita tragis-pemerkosaan, penyiksaan di luar batas kemanusiaan, misalnya, pernah membuat geger seluruh publik Tanah Air. Cerita yang sama juga pernah menguras rasa kemanusiaan kita di Hong Kong. Cerita memilukan itu ternyata masih terulang di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tempat favorit para tenaga kerja wanita (TKW). Rayuan riyal sering berubah menjadi 'bisa ular' yang kemudian menjadikan para TKW seperti budak belian, karena sering diperlakukan di luar batas kemanusiaan.

Kasus penyiksaan tenaga kerja yang mengadu nasib di luar negeri seolah tak pernah berhenti mewarnai hiruk-pikuk persoalan bangsa. Lagi-lagi, TKW Indonesia mengalami penyiksaan sadis yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Kali ini TKW bernama Sumiati asal Dompu Bima, NTB terluka parah akibat (maaf) digunting bibirnya bagian atas oleh majikannya di Arab Saudi.

Kisah ironi itu kini tengah dirajut Sumiati. Empat bulan bekerja di Arab Saudi, bukan kesempatan menabung riyal yang didapatnya. Justru, sebaliknya, Sumiati mengalami peristiwa yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh wanita berusia 23 tahun ini. Ia mengalami sebuah penyiksaan yang rasanya semua orang tak kuasa membayangkannya. Penyiksaan sadis yang dialami Suamiati mencerminkan betapa memilukannya menjadi buruh migran yang mengadu nasib di negeri orang.

Sebagai pahlawan devisa, Sumiati seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari pemerintah. Akibat penyiksaan yang dilakukan secara biadab oleh majikan, kini sekujur punggung Sumiati terlihat penuh bekas luka. Bahkan ada luka yang terlihat belum mengering di beberapa bagian.

Kondisi paling mengenaskan adalah bagian ubun-ubun Sumiati yang sudah tidak ada lagi rambut di kepalanya sehingga yang tersisa hanyalah kulit kepala melepuh. Dan, yang lebih tragis, sang majikan yang sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, memotong bibir bagian atas Sumiati. Tindakan penyiksaan semacam itu, sungguh di luar batas kewajaran dan boleh dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Perlindungan Hukum

Jika sudah seperti ini, maka Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menyelesaikan kasus kekerasan ini hendaknya memberi perhatian sungguh-sungguh. Pekerjaan rumah yang paling utama adalah memastikan apakah setiap anak bangsa yang bekerja di luar negeri terjamin keselamatannya. Instansi itu mestinya juga memastikan bahwa mereka yang akan bekerja di luar negeri memiliki keahlian, dan memiliki kemampuan bahasa asing.

Kita tidak menginginkan kasus kekerasan yang menimpa Sumiati terulang kembali. Kita ingin agar para pahlawan devisa kita mendapatkan perlindungan secara hukum. Kasus Sumiati seharusnya dijadikan pelecut semangat untuk memastikan bahwa TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri akan mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka juga harus memiliki bekal keterampilan dan kemampuan bahasa asing yang cukup sehingga membantu mereka untuk melakukan komunikasi bila kekerasan dan penyiksaan menimpa mereka.

Para TKI, termasuk TKW, sejatinya memerlukan pengawalan khusus dari pemerintah RI. Kalau pemerintah tidak mampu, mestinya distop saja. TKI tampaknya berbeda dengan tenaga kerja Filipina yang memang dikawal secara ketat melalui perlindungan hukum dan peningkatan skills oleh pemerintah di Manila.

Dengan pendekatan seperti ini, Filipina dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang sering dilakukan terhadap TKI kita. Dengan semakin tingginya skills (keahlian) tenaga kerja Filipina, mereka juga masuk dalam pasar kerja yang memiliki jaminan keamanan yang lebih baik, karena tidak lagi masuk di sektor rumah tangga.

Menyikapi kasus kekerasan yang menimpa Sumiati, Kikim Komalasari dan TKI/TKW lainnya, pemerintah tampaknya tetap saja menggunakan pendekatan ad-hoc dan bersikap reaktif, sambil mematok biaya tinggi kepada mereka. Pelayanan terhadap TKI/TKW hanya kelihatan bila sedang ada kasus seperti Sumiati muncul, karena hal itu menjadi sorotan publik. Seharusnya pemerintah melakukan pendekatan hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri.

Jika tidak ada perlindungan hukum yang jelas, maka bisa dipastikan akan muncul "sumiati-sumiati" atau "kikim-kikim" lainnya yang boleh jadi akan menerima perlakuan kekerasan.

Penulis pesimis, derita Sumiati dan kawan-kawan di Arab Saudi akan bisa dihentikan dalam tempo yang singkat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ke depan akan banyak penyiksaan terhadap TKW kita di rumah-rumah orang Arab Saudi. Bisa jadi mereka lolos dari pantauan kita.***



Kasus TKI semakin ramai saja dibicarakan di media massa. Sejak pemancungan terhadap Ruyati, kini banyak TKI lain dikatakan menunggu nasib yang sama. Saya memang bukan pejuang HAM, tapi setelah membaca cerita para TKI tersebut dari media massa, saya mulai memikirkannya. Saat membaca berita diKompas, saya menemukan sebuah berita yang cukup mewakili apa yang ingin saya sampaikan. Inilah beritanya langsung dari sumber.






JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak segera melakukan langkah pembelaan terhadap 28 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang kini menunggu hukuman mati di Arab Saudi.

Desakan disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, yang ditemui di kantornya, Rabu (22/6/2011). “Hentikan saling tuding dan berpolemik soal kematian Ruyati yang dihukum mati. Lakukan langkah membela dan melindungi 28 TKI lainnya yang bakal bernasib sama dengan Ruyati,” tandas Anis.

Ia mendesak Presiden segera melakukan langkah nyata. “Jangan cuma sibuk beretorika dan membela diri dari tudingan. Bayarlah kesalahan yang menyebabkan kematian Ruyati dengan menyelamatkan 28 TKI lainnya,” kata Anis.

Menurut dia, ke-28 TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi adalah Sulaimah, Siti Zaenab Duhri Rupa, Muhammad Zaini asal Madura. Dwi Mardiyah, Nurfadilah, Suwarni, Hafidz Bin Kholil Sulam, Nursiyati asal Jawa Timur.

Eti Thoyib Anwar, Yanti Irianti, Karsih, Ruyati, Darsem, Emi, Nesi, Rosita Siti, Saadah, Jamilah asal Jawa Barat serta Satinah asal Jawa Tengah.

Dari Kalimantan Selatan tercatat Aminah Budi, Darmawati Tarjani, Muhammad Niyan, Abdul Aziz Supiyani, Muhammad Mursyidi, dan Ahmad Zizi Hatati. Dari Kalimantan Barat tercatat Sulaimah.

Dua TKI lainnya belum diketahui asal daerahnya, yaitu Nurmakin Sobri dan Ahmad Fauzi. Sejumlah TKI yang ditemui di rumah pondokan Migrant Care di Jakarta Timur mengakui, hidup bagai budak bekerja di Arab Saudi.

“Mereka memuaskan nafsu seks dan nafsu membunuhnya pada kami,” ungkap tenaga kerja wanita (TKW) Imas Tati (22).

Dua tahun lalu perempuan asal Majalengka ini bekerja di Kuwait. Di sana dia beberapa kali lolos dari pemerkosaan majikan dan para ponakannya. Terakhir, ia berusaha lolos dari pemerkosaan dengan turun dan jatuh dari lantai tiga apartemen majikannya.

Tulang punggung bagian tengah remuk, kedua tulang sendi telapak kaki patah. Nasib serupa dialami rekannya, Dewiyanti asal Brebes, dan Muslimah asal Tegal Gubuk, Indramayu, Jawa Tengah.

Imas mengatakan, di Arab Saudi, para pembantu perempuan Indonesia diperlakukan sebagai budak. “Dianiaya dan diperkosa berulang kali oleh majikan dan keluarganya, dijual dan diperas agen-agen penyalur pembantu rumah tangga. Itulah pengalaman saya dan sebagian besar kawan-kawan satu pekerjaan di Arab Saudi,” papar Imas.

Rosnani (48), TKW yang duduk di samping Imas, membenarkan. “Kalau sudah tua seperti saya, orang-orang itu engga doyan. Sebagai gantinya, saya diperas bekerja 22 jam setiap hari tanpa libur. Dipukuli, disekap, diludahi, dilempar ke comberan. Saya tidak tahan, akhirnya kabur pulang ke Indonesia dengan uang sendiri. Lolos dari agen juga sudah mujur,” tuturnya.

Naas sekali nasib para “pahlawan devisa” kita di luar negeri ya? Apa memang benar begitu yang harus mereka alami untuk menyumbang pada negara? Kalau memang begitu, lebih baik tidak usah memberangkatkan TKI lagi ke Arab. Hanya menambah luka negara dan korban jiwa saja.

Tapi, entah apa yang ada di pikiran pemerintah hingga membentuk satuan tugas (satgas) untuk menangani ini. Politik memang membuat semuanya menjadi kacau dan ruwet!

Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah masih perlu kita mengirimkan TKI ke Arab?

Pengiriman TKI ini mungkin tak ubahnya seperti human trafficking berlisensi resmi. Namun yang lucu adalah, mengapa TKI hanya di-export sebagai pembantu rumah tangga? Apa tidak ada profesi lain yang bisa dikerjakan oleh TKI selain menjadi pembantu rumah tangga? Mungkin karena itulah, kebanyakan TKI yang dikirim tidak mempunyai latar belakang pendidikan tinggi. Selain itu, mungkindemand pembantu rumah tangga di Arab cukup tinggi. Situasi ekonomi inilah yang menjadi pupuk subur bagi pengiriman TKI ke Arab.

Kedua, negara mendapat devisa yang cukup besar dari TKI, sekitar Rp 39,3 triliun per tahunnya atau hampir $44,37 juta (sumber data). Jumlah itu cukup besar bagi negara berkembang dan menjadi alasan utama pengiriman TKI ke luar negeri. Tapi jangan tanya saya uangnya ke mana.

Kini, masuk ke topik utama, masih perlukah TKI dikirim ke Arab (atau luar negeri)? Menjawab pertanyaan itu gampang-gampang susah, dan akan lebih susah lagi jika disangkutpautkan dengan ekonomi dan politik, jadi kita melihatnya dari sisi humanis saja.

Setelah seringkali mendengar berita tidak mengenakkan tentang perlakuan negara Arab kepada TKI kita, pasti kita berpikir TKI tidak perlu dikirim lagi! Buat apa mereka menderita demi segepok uang (yang belum tentu dibayarkan)? Bukankah lebih baik tinggal di negeri sendiri dan membangunnya daripada pergi bekerja di negeri orang?

Untuk masalah ini, pemerintah boleh disalahkan karena masih dibutakan oleh “modernisasi” hingga meninggalkan potensi terbesar Indonesia yaitu pertanian. Dengan luasnya wilayah, tentu pertanian akan banyak menyedot tenaga kerja. Bayangkan, Bolivia, negara yang jauh lebih dari kita, sudah mulai berswasembada pangan! Kita juga pernah, pada masa alm. Soeharto, tapi itu hanya bertahan sebentar saja. Sekarang kita lihat fakultas pertanian di universitas semakin minim peminat, semuanya ingin jadi dokter.

Dari sisi lain, untuk apa kita mengirimkan TKI ke Arab? Mengapa tidak memakai tenaga putra bangsa sendiri untuk membangun negara sendiri? Saya heran dengan pola pikir TKI yang ingin bekerja di daerah penuh konflik dan gersang seperti Arab. Tapi lagi-lagi semuanya kembali pada tidak tersedianya lapangan kerja di Indonesia.

Terus mengirimkan TKI, meskipun tahu nasib yang akan mereka alami, sama saja seperti mengirim seseorang untuk mati. Pemerintah belum melakukan langkah nyata untuk melindungi nasib TKI di luar negeri. Pemerintah hanya bisa berteori saja tentang langkah-langkah yang utopis tanpa realisasi. Lebih baik hentikan saja pengiriman TKI ke luar negeri dan fokus membangun mesin devisa di dalam negeri. Mungkin saat kita memutuskan untuk moratorium TKI, negara Arab kembali pada kita, mengemis agar kembali dikirimi tenaga kerja. Mungkin saja.