MENGGALI MAKNA IBADAH



Ibadah ritual yang disyariatkan dalam Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik tersendiri sesuai dengan maqasidus syar`iyyah (maksud disyariatkannya) ibadah tersebut. Ibadah-ibadah itu secara sempit lazimnya dikenal dengan nama Rukun Islam oleh masyarakat Indonesia. Di mana secara formal seseorang baru dianggap sempurna Islamnya apabila ia sudah bersyahadat, menunaikan sholat, berpuasa, membayar zakat, dan mampu melaksanakan haji ke Baitullah.
Pembagian ibadah-ibadah itu (Rukun Islam) - walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam nash-nash agama - tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu yang kadangkala baru disadari setelah melaksanakan, menggali, dan berupaya untuk menghayatinya maknanya. Tidak setiap orang memperoleh pencerahan, mendapat hidayah, dan memiliki kesadaran untuk berupaya menggali hikmah ibadah yang dilakukannya, meskipun hampir setiap hari dijalaninya.
Mungkin karena sudah menjadi rutinitas, sehingga dianggap sebagai hal biasa, kurang kesakralan dan kekhusukannya. Sehingga dampaknya justru mengurangi nilai dan makna ibadah itu sendiri di sisi pribadi yang bersangkuatan. Suasana inilah mungkin sebagian besar kita sering mengalaminya. Semacam kegersangan dan kehampaan ibadah.
Inilah agaknya kenapa sebagian besar kita sering terjebak rutinitas siklus ibadah yang terjadi harian, mingguan, bulanan, dan tahunan tanpa pernah bisa memetik hikmah yang sangat tinggi nilainya tersebut. Setiap hari sholat, setiap tahun berpuasa dan zakat, bahkan ada yang setiap tahun berhaji, namun kita masih kurang cerdas menggali makna, hikmah, nilai yang terkandung dalam ibadah-ibadah tersebut.
Lihatlah berapa banyak orang yang sholat, dan berapa ribuan rakaat yang sudah dikerjakan selama hidupnya tetapi sholatnya belum mampu mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Seolah terjadi dikotomi atau pemisahan secara sengaja antara ibadat dan perilaku seseorang. Atau dengan kata lain, ibadat tetap dijalankan, yang penting sudah dilaksanakan, sedangkan tingkah laku kita adalah urusan pribadi masing-masing.
Begitu juga misalnya dalam pelaksanaan puasa wajib Ramadhan dan puasa-puasa sunat lainnya. Berpuasa di bulan Ramadhan menjadi seremonial rutin tahunan dan tak jarang di Indonesia menjadi sebuah "budaya nasional" yang disemaraki dengan bumbu-bumbu budaya dan kadangkala tanpa disadari menggerogoti aqidah masyarakat awam. Dalam momen bulan puasa itu juga terjadi intensitas kegiatan perekonomian, bisnis, dan perdagangan yang tidak saja mewarnai bahkan mendominasi aktifitas kaum muslimin dalam berpuasa dan berhari raya.

Akibatnya mereka tidak bisa memisahkan mana yang substansial ibadah mana yang periferal, mana yang inti mana yang tambahan, mana yang boleh mana yang dilarang, dan mana yang syariat mana yang tradisi/budaya. Keawaman ini terefleksi dalam perilaku kita sehari-hari, baik ketika berbuka puasa, menyambut dan merayakan lebaran, dan seusai bulan Ramadhan - yang jauh menyimpang dari nilai-nilai puasa itu sendiri.
Contoh lain misalnya dalam membayar zakat. Sebagian besar kita berasumsi bahwa kewajiban mengeluarkan zakat tidak sepenting atau sewajib ibadah lain seperti sholat dan puasa, dan dosanya sering dianggap tidak seberapa berat dibanding dosa karena meninggalkan kewajiban lain. Bahkan kita lebih takut kalau tidak membayar pajak ketimbang tidak menunaikan zakat.
Ada juga fenomena yang sangat menarik, yaitu berhaji ke baitullah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jumlah JCH asal Indonesia adalah yang terbesar kedua setelah Arab Saudi, tak kurang dari 200 ribu jiwa setiap tahunnya. Untuk saat ini daftar tunggu haji sudah penuh sampai tahun 2020. Artinya mereka yang terdaftar untuk berhaji pada akhir tahun 2013 ini, diperkirakan baru akan berangkat di tahun 2020 nanti.
Besarnya animo masyarakat berhaji ini sayangnya belum sepenuhnya diimbangi dengan pembuktian dalam sikap dan tingkah laku para hujjaj setelah pulang haji. Titel haji yang didambakan sebenarnya adalah haji mabrur yang implementasinya dibuktikan ketika pulang ke tanah air. Kuantitas haji rupanya belum diimbangi dengan kualitas haji kita.
Pentingnya Memaknai Sholat

Sholat adalah sesempurna-sempurnanyanya zikir atau zikir yang paling sempurna). Aqimissholah lizkri. Dirikanlah sholat, karena hanya dengan mendirikan sholat sajalah kamu bisa mengingat Allah dengan sempurna. Atau dengan kata lain agar kamu bisa mengingat/zikir kepada Allah dengan sempurna, maka dirikanlah sholat. Sempurna, karena semua lafaz zikir terdapat dalam sholat (tasbih, tahmid, tahlil La ilaaha illaallah, yang terdapat dalam rukun sholat tasyahud). Hal ini sejalan dengan bunyi hadits: Afdholuzzikri laa ilaha illallah yang artinya adalah seutama-utamanya zikir adalah Laa ilaaha illallah, yaitu sholat, karena lafaz tersebut terdapat di dalam sholat (tasyahud).
Zikir artinya ingat, yaitu Zikrullah. Sholat adalah zikir yang paling sempurna dan tentu saja sholat itu sendiri harus didirikan dengan sempurna sesuai dengan perkataan aqiimu yang artinya adalah mengerjakan sesuatu dengan sempurna yaitu syarat, rukun, sunat, dan tepat waktunya.
Peryataan tersebut dapat juga berarti seutama-utamanya ucapan/lafaz zikir adalah Laa ilaaha ilallah. Sebab zikir juga artinya ucapan/lafaz. Bukankah dengan melafazkan sesuatu akan menguatkan ingatan kita akannya.
Disamping itu sholat juga merupakan salah satu perwujudan/tanda bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. Hamba yang bersyukur adalah seorang hamba yang tunduk, taat, dan patuh yang dibuktikannya dengan melaksanakan sholat dengan sempurna. Ketundukan seorang hamba yang paling sempurna disimbolkan dengan sujud dengan meletakkan milik manusia yang paling berharga dan terhormat yaitu kepala di atas tanah.
Syukur artinya membuka, menerima, mengakui sedangkan kufur artinya menutup, mengingkari, menolak. Karena itu syukur lawannya kufur. Orang yang bersyukur adalah orang yang melaksanaakan sholat dengan sempurna, penuh dengan ketundukan dan ketaatan. Sedangkan orang yang kufur adalah mereka yang tidak sholat. Seperti dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya: Assholatu `imaaduddin. Faman aqamaha faqod aqomaddin. Wa man tarakaha faqad hadamaddin; alfarqu bainalkaafiru wal muslimu assholah.
Bersyukur kepada manusia artinya berterima kasih, karena menerima, mengakui kebaikan, jasa orang lain terhadap kita. Bukankah setiap kali orang berbuat baik kepada kita secara spontan diucapkan terima kasih. Sering juga dikatakan "orang itu pandai bersyukur, artinya pandai berterimakasih". Orang yang tidak pandai berterimakasih kepada orang lain, maka dia (juga) tidak berterimakasih kepada Allah. Man la yaskurinnas la yaskurillah.
Lakukanlah sholat dalam rangka kesyukuran kita kepada Allah. Kita merasa bahwa semua nikmat yang kita terima selama ini patut disyukuri, karena itu kita sholat. Maka adalah masuk akal kenapa sholat dikerjakan secara rutin setiap hari lima kali, tujuh balas rakaat dengan tujuan agar kita senantiasa ingat kepada Allah, ingat kepada nikmatNya dan bersyukur kepadaNya. Fazkurni azkurkum wasykurli wa laa takfurun.
"Ingatlah/berzikirlah kepada Aku, maka Aku akan mengingatmu; bersyukurlah kepadaKu (dengan melaksanakan sholat), dan jangan kamu kafir/ingkar (dengan meinggalkan sholat, sebab orang yang tidak sholat adalah kafir)"!
Bukan sholat saja (tetapi sholatlah yang terutama sekali) dikerjakan karena bersyukur kepada Allah. Seluruh amal ibadat hendaknya dikerjakan sebagai bentuk kesyukuran kepadaNya. Inilah setinggi-tingginya nilai ibadat seorang hamba kepada Khaliknya. Wa ahsin kama ahsanta ilaika. "Berbuat baiklah (dengan cara beribadat kepadaNya), sebagaimana/disebabkan karena Dia (Allah) telah berbuat baik kepadamu".