Allah swt maha mengetahui apa yang paling pantas dan bermanfaat bagi manusia lebih dari manusia itu sendiri mengetahui tentang dirinya. Meskipun kadangkala karena kebodohannya manusia merasa bahwa apa yang diperintahkan Allah itu memberatkan, merugikan bagi dirinya. Karena itu Allah mengutus rasul-rasul di dunia ini sebagai pemberi petunjuk kepada manusia agar senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt.
Dalam menetapkan syariat atau tata cara ibadah mahdah misalnya, ia didisain sedemikian rupa sehingga benar-benar sesuai dengan fitrah/kondisi manusia, tidak membahayakan, serta jelas maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh berpuasa di bulan Ramadhan. Dengan tegas dinyatakan bahwa siapa saja orang beriman pasti sanggup melaksanakannya. Dan apabila dilakukan menurut petunjuk Rasulullah saw yaitu berpuasa dengan imaanan (niat ikhlas karena Allah) wahtisaban (prosedural) dipastikan atau diharapkan tujuan menjadi orang bertaqwa akan tercapai.
Makna Puasa
Secara istilah atau terminologi fiqh, puasa artinya adalah menahan dari makan, minum, berhubungan seksual, dan dari segala perbuatan yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Karena itu seorang muslim sudah dianggap sah puasanya menurut pandangan ahli fiqh, asalkan ia mampu untuk tidak makan, minum, berhubungan biologis dan mengerjakan perbuatan yang membatalkan puasa dari waktu imsak sampai berbuka.
Namun hakikat atau esensi puasa itu tidak hanya sekedar menahan diri dari nafsu perut dan nafsu syahwat tersebut, tetapi ada yang lebih substansial yaitu menahan/mengendalikan diri dari segala keinginan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan manusia kepada kerusakan dan kebinasaan. Kemampuan untuk menahan dan mengendalikan diri ini tidaklah semata-mata diraih begitu saja, tetapi memerlukan waktu atau proses latihan atau pendidikan secara terus menerus, teratur, mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Karena itu jangka waktu pelaksanaan puasa Ramadhan didesain selama satu bulan agar menimbulkan efek atau mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu taqwa.
Sehingga Allah swt memastikan seseorang akan dapat mencapai derajat taqwa dengan syarat ia benar-benar menjalankan puasanya sesuai ketentuan (prosedural). Proses atau prosedur ini dalam hadits Rasulullah saw disebut dengan imaanan (dilakukan dengan penuh kesadaran, taat, dan ikhlas karena Allah) wa-ihtisaban (dan memelihara puasa dari hal yang membatalkan dan merusak pahalanya).
Itulah sebabnya orang yang dipanggil Allah atau syarat seseorang untuk menjalankan puasa Ramadhan adalah telah wujudnya iman dalam hati seseorang meskipun hanya sebesar zarah. Imanlah yang membuat seseorang yang berpuasa mampu tetap bertahan untuk tidak makan atau minum, padahal ia benar-benar lapar dan dahaga. Hal ini ia lakukan karena menyadari sepenuhnya akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap aktifitasnya dimana dan kapan saja.
Kondisi seperti inilah yang menjadi target pelaksanaan ibadah puasa, yaitu tercapainya derajat taqwa. Taqwa adalah sebuah kondisi jiwa seseorang yang penuh dengan kesadaran akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi, dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk selalu patuh dan taat dalam mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa berasal dari dalam diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi. Jadi hanya yang bersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya.
Itulah sebabnya puasa disebut juga sebagai ibadah yang sangat pribadi. Sebab hanya yang bersangkutan dan Allah sajalah yang mengetahui seseorang sedang menjalankan puasa dan Dialah yang langsung memberi pahala (menilai) puasa seseorang. Inilah yang dimaksud oleh hadits qudsi yang berbunyi: Puasa adalah milikKu (Tuhan), dan Akulah yang akan menanggung pahalanya (menilai kwalitas puasa seorang hamba).
Oleh karena itu tidak ada ibadah di dalam Islam yang sarat dengan pendidikan atau latihan, yang lebih efektif, lebih komprehensif dan menyeluruh selain dari pada puasa (Ramadhan). Sebab puasa atau nilai-nilai puasa sesungguhnya terdapat hampir di seluruh bentuk ibadah mahdhah dalam Islam. Di dalam sholat kita menahan dari makan, minum, dan berbicara yang tidak baik apabila takbir sudah diucapkan. Dalam zakat atau sedekah kita diwajibkan untuk mengeluarkan atau memberikan dari yang baik-baik. Dalam haji kita dilarang berbantah, berkata kotor, dan menyakiti orang lain. Jadi unsur-unsur menahan atau mengendalikan diri seperti yang terdapat dalam ibadah-ibadah mahdah di atas sudah tercakup dalam pelaksanaan ibadah puasa. Pantaslah kalau dikatakan puasa adalah jalan pintas menuju taqwa.
Hikmah Puasa
Ulama fikih menyimpulkan beberapa hikmah yang melatarbelakangi puasa, di antaranya adalah:
- Menjadikan orang patuh dan taat kepada aturan yang benar dan baik, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagai bukti orang yang bertaqwa.
- Sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas berbagai nikmat yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya.
- Melatih diri dalam mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Di dalam keadaan lapar berbagai nafsu bisa ditekan. Dalam kaitan inilah Rasulullah saw menyuruh para pemuda untuk memperbanyak puasa jika belum mampu melaksanakan perkawinan.
- Menahan diri dari berbuat maksiat, karena maksiat muncul akibat nafsu yang tidak terkontrol. Dengan berpuasa, nafsu dapat dikontrol.
- Dapat merasakan penderitaan orang-orang miskin yang pada akhirnya membawa seseorang untuk memikirkan nasib orang-orang miskin tersebut. Di dalam berpuasa seseorang merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan setiap hari oleh fakir dan miskin.
- Untuk melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan bagi orang-orang yang berpuasa, serta memperkuat tekad untuk melakukan suatu pekerjaan.
- Menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu berat, sebagaimana pada hari-hari biasa. Di dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud mengatakan: Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat. (Iman, 2007).
Betapa besar dan banyaknya manfaat atau hikmah yang dapat diperoleh dari berpuasa khususnya di bulan Ramadhan. Semua itu tidak akan dapat tercapai kecuali melalui proses pendidikan dan latihan yang dilakukan secara teratur, terus-menerus melalui cara-cara yang benar (imaanan wa-ihtisaban).Dengan menjalankan puasa serta mengerjakaan amalan-amalan di bulan Ramadhan berarti kita sedang berupaya menggali nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa akan menjadikan orang yang berpuasa itu mampu menyucikan jiwa, raga, dan hartanya (tazkiyatun nafsi walbadani wal-amwali) sehingga ia menjadi orang yang bertaqwa.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa puasa merupakan simbol kewajiban pribadi dan zakat sebagai simbol kewajiban sosial. Kedua kewajiban ini adalah sarana pensucian jiwa dan harta manusia. Dimana puasa kita di bulan Ramadan dan zakat yang dikeluarkan merupakan suatu training dan pendidikan saja, untuk diaplikasikan dalam 11 bulan ke depan.
Orang yang berpuasa melalui pendidikan dan latihan yang dilakukannya insya Allah akan tumbuh dan muncul dalam dirinya nilai-nilai dan sifat-sifat utama dalam kehidupan seperti amanah dan jujur, sabar, tabah, berkepedulian sosial, disiplin, adil, serta bersungguh-sungguh dan konsisten dalam melakukan setiap pekerjaan. Semua sifat terpuji tersebut merefleksikan sebuah ketinggian moral, rasa solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan yang amat dalam, dan kematangan spiritual yang amat tinggi.
Kalau kita bercermin pada kehidupan Rasulullah, maka selama hidup beliau di luar bulan Ramadan juga berpuasa seperti puasa Senin Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari buka), puasa tiga hari pertengahan bulan, puasa enam hari bulan Syawal, puasa hari Arafah, puasa hari Asyura (10 Muharam), dan memperbanyak puasa di bulan Syaban. Dan beliau senantiasa bersifat dermawan dan gemar bersedekah di bulan-bulan yang lain di luar Ramadhan. (Al-Habsyi,1999).
Karena itu nilai-nilai pendidikan ibadah puasa bukan untuk diwujudkan dalam Ramadan saja, melainkan untuk diterapkan dalam bulan-bulan lainnya sepanjang tahun, bahkan untuk sepanjang hayat. Dengan demikian, ibadah puasa Ramadan merupakan metode yang paling tepat untuk pendidikan akhlak manusia. Semangat dan kebiasaan dalam bulan suci Ramadhan, membentuk karakter dan mental untuk tetap konsisten dan istiqomah dalam sebelas bulan berikutnya.
Sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan pendidikan, bulan latihan untuk diaplikasikan terus setelah bulan Ramadan usai. Puasa di bulan Ramadan dan amal-amal yang terdapat di dalamnya seperti bersedekah, membayarkan zakat, berinfaq, berderma, menyantuni kaum miskin dan dhuafa, berbuat baik kepada orang lain adalah sebuah simbol, motto, slogan atau komitmen yang harus dipegang erat dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen (istiqomah) di luar bulan Ramadhan.
Itulah sebenarnya makna puasa sebagai bentuk pendidikan komprehensif sepanjang hayat. Sebab derajat taqwa yang dengan susah payah diraih selama bulan Ramadhan merupakan hasil pendidikan dan pelatihan (training) yang harus senantiasa dipertahankan agar mewarnai bulan-bulan lain dalam setahun, bahkan sepanjang hayat kita.