TRADISI BACA TULIS ADALAH WARISAN KEJAYAAN ISLAM



Salah satu revolusi budaya terpenting bagi manusia adalah tulisan atau kemampuan menulis. Penemuan tulisan merupakan satu dari tiga penemuan manusia terbesar, disamping roda dan api. Dengan tulisan manusia mampu menyampaikan konsep, ide, gagasan, kritik, argumen kepada orang lain tanpa dibatasi oleh ruang selagi tulisan tersebut dapat tersebar, mencapai pembacanya; dan tanpa batas waktu selagi tulisan tersebut masih awet, tidak lapuk dan musnah. Dan dengan tulisan juga, ilmu pengetahuan dan informasi tetap tersimpan, terjaga dan dapat diwarisi oleh generasi berikutnya.
Tulisan juga merupakan alat komunikasi yang efektif, dialog universal yang bersifat lintas etnis, agama, ras, serta golongan. Dan yang lebih penting lagi adalah lintas zaman. Mereka yang jasadnyanya sudah tidak ada lagi di dunia fana ini, hancur dimakan bumi, masih menjalin komunikasi dengan orang-orang setelahnya melalui karyanya yang abadi (tulisan), yang dibaca oleh orang lain. Tak jarang karya tersebut lebih panjang usianya dari penulis itu sendiri.
Hadirnya teknologi di bidang percetakan memungkinkan orang untuk mereproduksi, mencetak ulang hasil karya tulisan orang-orang terdahulu dengan hasil cetakan yang semakin menarik dan tahan lama (long lasting). Tak sebatas media berbentuk kertas, tetapi berbagai macam media sampai kepada teknologi terkini yaitu disimpan dalam format digital (digital library), yang bisa diakses kapan saja secara lintas wilayah dan negara berkat tersedianya jaringan global (internet).

Kita yang hidup pada masa kini sepatutnya bersyukur dan berterimakasih dengan anugerah besar ini, lebih lagi kepada mereka yang merubah dunia, memajukan budaya dan peradaban karena tulisan mereka. Oleh sebab itu nama mereka patut menjadi kenangan, abadi sepanjang zaman. Dunia Baratpun sangat tinggi sekali apresiasinya terhadap tradisi baca-tulis ini - termasuk bagi penulis, pengarang, dan buku. Sehingga salah satu kategori dalam pemenang hadiah Nobel yang terkenal itu adalah hadiah di bidang sastra bagi pengarang atau penulis. Dan hampir tidak ada satupun profesi bergengsi di dunia ini yang tidak berkaitan dengan tulisan, baik karya fiksi, non-fiksi, karya ilmiah, sastra, jurnalistik, dan sebagainya. Maraknya penerbitan buku-buku best seller di pasaran cukup menjadi bukti kesuksesan seseorang dalam mengembangkan kemampuan baca-tulis.
Warisan kejayaan Islam

Sebenarnya dunia Islampun sudah lebih dahulu menghargai tulisan dan kemampuan menulis, mengingat manfaatnya yang begitu besar bagi perkembangan peradaban manusia. Misalnya, apa yang akan terjadi kalau tidak ada budaya (tradisi) baca-tulis, orang tentu akan sangat sulit mengetahui, belajar tentang kitab suci Al-Quran yang berjumlah lebih dari 6000-an ayat tersebut, dan hadits yang tak kalah besar jumlahnya mencapai ratusan ribu buah. Belum lagi kitab-kitab kuning warisan para ulama sebagai sumber ilmu pengetahuan semuanya adalah karya baca-tulis manusia.

Memang benar bahwa bangsa Arab di awal-awal masuknya Islam memandang kemahiran baca-tulis adalah aib, kelemahan, karena dianggap yang bersangkutan hapalannya lemah. Sebab pada masa itu kekuatan hapalan sangat diandalkan guna melantunkan syair-syair. Apalagi belum ditemukannya alat baca-tulis seperti sekarang ini. Pada abad pertama perkembangan Islam, tradisi-tradisi lisan merupakan sarana utama menyebarkan informasi dengan mengandalkan sepenuhnya kekuatan daya ingat. Namun kegiatan catat-mencatat sudah mulai digunakan oleh para penuntut ilmu pengetahuan. 
Misalnya Saad bin Jubair (wafat 714 M) ketika mengikuti kuliah Ibnu Abbas mencatat dalam lembaran baik di media kulit, daun, tulang, dan sebagainya. Catatan-catatan tersebut kemudian dengan bebas dipertukarkan antara pelajar, guru, dan para cendekiawan. Dari kebiasaan mencatat tersebut kemudian berkembang menjadi catatan yang terkumpul sebagai buku/kitab. Adalah Urwah bin Zubair (wafat 714 M) sebagai orang pertama yang menghimpun buku-buku berhalaman lepas ketika itu.
Dalam periode tersebut tradisi baca-tulis sangat memainkan peranannya, sehingga para cendekiawan diminta untuk menulis buku terutama oleh murid-murid yang menginginkan agar kuliah-kuliah mereka dicatat, lalu dialihkan ke dalam bentuk buku terpadu. Diantara ulama hadits ketika itu yang selalu diminta untuk menulis buku adalah Al-mash Abu Muhammad Sulaiman ibn Mihran (680-765M). Ketika beliau wafat, buku telah menjadi sarana pokok untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi.

Pertumbuhan yang sangat cepat dari pencatatan-pencatatan tersebut melahirkan kumpulan-kumpulan koleksi yang kemudian dapat dikatakan sebagai perpustakaan. Didukung pula dengan telah ditemukan dan dimanfaatkannya teknologi pembuatan kertas yang diproduksi orang-orang Cina. Islam sudah sampai ke Cina mulai abad ke-7. Barangkali inilah salah satu hikmah dari perkataan Nabi saw yang berbunyi: Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.
Pada zaman itu kota muslim yang pertama sekali mendirikan pabrik kertas adalah Samarkand, yang jatuh ke tangan Islam pada tahun 704 M. Pabrik kertas ini didirikan oleh orang-orang Cina yang menjadi tawanan perang. Dari sinilah bermula penyebaran industri kertas ke provinsi-provinsi dan kota-kota besar lainnya. Setelah era pasca khulafa ur-rasyidin dan khalifah-khalifah berikutnya, semangat untuk menuliskan ilmu pengetahuan semakin berkobar yang ditandai dengan ditulisnya kitab-kitab terkenal oleh ulama-ulama besar dalam berbagai macam disiplin ilmu. Pada masa kekuasaan Abbasiyah, tradisi baca tulis semakin berkembang dan tinggi intensitasnya terutama sekali setelah industri kertas masuk ke dunia Islam pada abd ke-2 H.
Tentunya umat Islam sudah tak asing lagi dengan nama Imam Al-Ghazali karena kemashuran kitabnya yang berjudul Ihya Al-Ulumuddin, Imam Bukhari dengan Shahih Bukhari, Imam Muslim dengan Shahih Muslim, Imam Malik dengan Muwatta, Imam Syafei dengan al-Umm dan banyak lagi ulama lainnya. Begitu juga dengan ulama yang terkenal karena kitab-kitab tafsir mereka, seperti Tafsir Jalalain, Al-Maraghi, Ibnu Katsir. Ulama dalam ilmu Fiqh dikenal karena kitab-kitab fiqh mereka seperti Subul al-Salam, Bulugh al-Maram, Fath al-Mumin, Fath al-Qarib, Fiqh as-Sunnah. Ditambah lagi kitab-kitab karangan ulama dalam bidang Tauhid/Aqidah, Ilmu Kalam, Tata Bahasa Arab (Nahwu/Sharf), termasuk ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, ilmu alam, astronomi, politik-kenegaraan, ekonomi, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.
Apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan tradisi baca tulis ini mampu menorehkan tinta emas dalam mewariskan kejayaan Islam. Seperti ditunjukkan di masa pemerintahan para khalifah khususnya Dinasti Abasiyah (750 - 1258 M). Pada masa itu kegiatan baca-tulis ditandai dengan menterjemahkan dan menulis sains, filsafat dari dunia barat seperti Yunani, Romawi, Ankara, Ammuriyah, dan Siprus ke dalam Bahasa Arab. Aktifitas ini mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itulah di didirikan beberapa perpustakaan Islam legendaris yang masih diingat sampai kini dengan segudang koleksi buku-bukunya dari bermacam-macam disiplin ilmu seperti Perpustakaan Baitulhikmah didirikan pada zaman Khalifah Harun Al Rasyid (170-193 H) dan berkembang pesat pada masa khalifah Al Ma'mun (198-218 H), Perpustakaan Al Haidariyah, dan Perpustakaan Sabur di Bagdad, Perpustakaan Darulhikmah dan Nizhamiyah di Kairo, dan sebagainya.
Perpustakaan Islam berkembang bersama berkembangnya peradaban dunia Islam yang mencapai puncak kejayaannya sekitar abad 4-6 Hijriyah atau abad 9-11 Masehi. Perpustakaan ketika itu merupakan tempat belajar semacam perguruan tinggi atau sekolah, hanya tanpa pengajar. Beberapa perpustakaan menyediakan asrama bagi pemakai perpustakaan yang berasal dari luar daerah yang jauh.
Dalam peradaban Islam dikenal juga adanya perpustakaan khusus yang didirikan oleh para ulama dan sastrawan untuk keperluam penelitian dan diskusi. Perpustakaan jenis ini banyak berdiri di negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Perpustakaan ini dipergunakan untuk membahas dan meneliti berbagai ilmu pengetahuan. Perpustakaan khusus Al- Muwaffak Ibnul Mathran dan Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan yang didirikan pada abad ke-6 Hijriyah mempunyai koleksi 10.000 jilid. Beberapa perpustakaan besar lainnya seperti Perpustakaan al-Fathu Ibnu Chaqam yang didirikan pada abad ke-3 Hijriyah, dan beberapa perpustakaan sejenis lainnya.
Perpustakaan dalam sejarah Islam memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai tempat mencari referensi dari para penuntut ilmu, bahan kajian bagi para intelektual, pusat penyimpanan buku dan manuskrip berharga hasil karya ilmuwan, dan sebagai tempat pertemuan diskusi, debat ilmiah.
Menghidupkan tradisi baca-tulis

Tak ada diantara kita yang tak sepakat bahwa kepakaran dan keilmuwan seorang ulama, cendekiawan, perlu didukung (dibuktikan) dengan menghasilkan karya nyata yang betul-betul bisa dinikmati  oleh masyarakat, diantaranya dengan melihat berapa banyak karya tulis atau buku yang telah dikarang. Bagi ulama Islam, itu sudah dibuktikan dengan mengarang ribuan judul kitab yang masih kita saksikan sampai saat ini keberadaannya. Di Indonesia, keberadaan kitab-kitab kuning (kutubutturats), pembacaan, pengajaran dan pembahasannya adalah sebuah tradisi yang sangat mengakar kuat yang tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Seolah-olah tidak sah wujudnya suatu pesantren kalau tidak ada pengajaran kitab kuning.
Nabi saw sendiri sangat besar perhatiannya terhadap baca-tulis yang ditunjukkan ketika beliau membebaskan tawanan Badar dengan syarat mereka bersedia mengajar umat Islam baca-tulis. Beliau diutus ke dunia adalah untuk mengajarkan al-kitab dan al-hikmah. Mengajar al-kitab dapat dipahami sebagai mengajar baca tulis dan mengajar al-hikmah bermakna mengajarkan keyakinan yang mantap tertanam di dalam hati sanubari berdasarkan ilmu yang diperoleh melalui proses baca-tulis tadi sehingga menimbulkan kearifan dan kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak.

Ayat Al-Qur'an yang pertama sekali diturunkan adalah perintah kepada kita untuk membaca. Hal ini menunjukkan suatu makna yang penting, dalam dan luas. Membaca bisa berarti suatu perintah/kewajiban agar manusia senantiasa belajar sepanjang hayatnya. Membaca juga bermaksud tidak sekedar bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi menyebarkan, mengembangkan hasil bacaan menjadi informasi, ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu membaca akan semakin berfaedah apabila mengolah, menyajikan kembali seluruh hasil bacaan menjadi bentuk tulisan, sehingga informasi dan ilmu pengetahuan tetap awet, terjaga dalam masa yang lama dan bisa memberikan manfaat kepada generasi berikutnya. Membaca juga berarti selain membaca yang tertulis juga membaca yang tidak tertulis, yang tersirat, membaca alam, kebesaran dan keagungan Tuhan. Membaca juga berarti (bernilai sangat tinggi) apabila atas nama Tuhan yang telah menciptakan bacaan, tulisan, dan alam semesta. Barang siapa pandai membaca (alam tanda kekuasaan Tuhan), maka ia akan mudah mengenal siapa Pencipta alam tersebut, dan mengenal hakikat keberadaan dirinya sendiri.

Dalam salah satu surat Al-Qur'an ada surat bernama pena (Q. S. Al-Qolam (68), yang berisikan keterangan tentang tulisan dan alat yang digunakan untuk menulis yaitu pena (qolam). Ayat ke empat dari Q. S. Al-Alaq menyebutkan secara tegas bahwasanya Allah mengajar manusia melalui perantaran sarana, media, alat tulis yaitu qolam. Al-Quran sendiri sebagai pedoman hidup terbesar bagi manusia sepanjang masa merupakan bukti bahwa Allah mengajarkan manusia melalui perantaraan pena, alat yang menghasilkan tulisan. Karena itu Al-Quran juga disebut sebagai al-Kitab (yang ditulis).

Setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan baca-tulis, seperti: mengembangkan kepribadian, menambah wawasan, membuka cakrawala berpikir, terhindar dari mengerjakan perbuatan yang kurang bermanfaat, menyalurkan dan mengasah hobi/ketrampilan, bisa menambah/menjadi sumber penghasilan, senatiasa up to date dengan perkembangan berita terakhir, dan masih banyak lagi manfaat yang dapat dipetik dengan melakukan kegiatan baca-tulis. Apalagi kalau dilakukan dengan rutin, serius, mengalokasikan waktu khusus untuk kegiatan tersebut. 

Oleh sebab itu tidak pernah ada kata terlambat bagi umat Islam untuk bercermin ke masa jayanya di bidang ilmu pengetahuan dan sains di masa lampau guna mengambil manfaat di masa depan. Mari kita menghidupkan kembali tradisi baca-tulis sebagai warisan kejayaan Islam agar menggantikan (setidaknya melengkapi) budaya dengar-tonton-cakap yang masih kuat mendominasi gaya hidup kita dewasa ini.