ANUGRAH PADA MEREKA YANG BERAHLAK TINGGI


واذكر عبادنا إبراهيم وإسحاق ويعقوب أولي الأيدي والأبصار، إنا أخلصناهم بخالصة ذكرى الدار، وإنهم عندنا لمن المصطفين الأخيار

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shad [38]: 45-47)

Muqaddimah

Di banyak ayat al-Qur`an, Allah SWT senantiasa menyebut beberapa nama orang-orang saleh, termasuk sejumlah nabi dan rasul dengan perintah wadzkur yang berarti “dan sebutlah atau ingatlah”. Sebagai Kitab Suci yang datang dari Zat Yang Maha Suci, perintah itu sudah jelas bukan mengada-ada. Pastinya, ia juga bukan suruhan tanpa sebab. Karena mereka yang disebut namanya secara langsung dalam al-Qur`an tentu memiliki keutamaan tertentu. Bahkan boleh jadi ia adalah sebuah kekhususan dan tak dimiliki oleh orang lain.

Termasuk pada catatan sejarah yang telah diukir dengan tinta emas. Nabi Ibrahim Alaihissalam acap disemati gelar Abu al-Anbiya atau Bapak Para Nabi. Julukan itu tentu juga bukan tanpa alasan. Setidaknya hal itu tampak pada jiwa kepemimpinan Nabi Ibrahim yang mengalir turun kepada segenap anak keturunannya. Bahkan Nabi Ibrahim terpilih menjadi salah satu sosok teladan sepanjang masa bagi orang-orang beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya…” (Al-Mumtahanah [60]: 4)

Selanjutnya dalam ayat di atas, misalnya. Tak segan Allah SWT memuji Nabi Ibrahim dengan menggandeng sebutan tiga generasi sekaligus. Mulai dari Nabi Ibrahim sebagai bapak, Nabi Ishaq selaku anak, dan Nabi Ya’qub yang jelas-jelas adalah anak kandung dari Nabi Ishaq atau cucu dari Nabi Ibrahim. Demikan selanjutnya, ruh tauhid dan jiwa kepemimpinan itu terus mengucur deras hingga sampai pada garis keturunan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup risalah nabi-nabi utusan Allah.

Makna Ayat

Pada ayat ini, secara tersurat Allah SWT menyebut salah satu rahasia kemuliaan Nabi Ibrahim dan keturunannya yaitu uli al-aidiy dan uli al-abshar. Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir lalu merangkum beberapa pendapat terkait dua potensi tersebut. Di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, dua kekuatan itu adalah kekuasaan sebagai seorang umara (pemimpin) dan keluasan ilmu sebagai seorang ulama.

Imam Mujahid menerangkan, uli al-aidiy adalah kekuatan untuk taat beribadah kepada Allah SWT dan uli al-abshar berarti pandangan mendalam tentang al-haq (kebenaran). Sedang Qatadah dan as-Siddiy menuturkan, uli al-aidiy dan uli al-abshar bermakna mengerahkan segenap kekuatan fisik dalam rangka beribadah dan kemapanan ilmu agama.

Senada dengan itu, menurut pengarang kitab tafsir Ruh al-Ma’ani, Imam al-Alusi, dua kata ini masing-masing memiliki makna konotasi. Penyebutan al-aidiy adalah bentuk majas dari kekuatan fisik dan kekuasaan. Sebab asalnya, ia berati pemilik tangan. Sedang al-abshar juga bermakna konotasi berupa kedalaman ilmu seseorang. Arti asalnya adalah yang memiliki mata atau pandangan.

Diharapkan dengan dua potensi tersebut, seorang Muslim mampu memaksimalkan hal itu dengan semakin memahami ajaran agama Islam. Selanjutnya dengan dukungan ilmu tersebut, ia lalu semakin termotivasi untuk mengerjakan amalan-amalan terbaik.

Jadikan Sebab dan Bukan Tujuan
Masih menurut al-Alusi, meski Allah SWT memerintahkan secara langsung untuk meraih dan mengumpulkan dua kekuatan tersebut. Namun sejatinya, tujuan kehidupan seorang Muslim bukan untuk meraih itu semata. Karena, ia hanyalah sebab dan sarana saja, bukan sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Zikru as-sabab yuradu bi hi al-musabbab (menyebutkan suatu sebab namun yang diinginkan adalah akibat). Demikian sebuah kaidah ilmu mengajarkan.

Lalu apa hakikat tujuan kehidupan manusia sebenarnya? Sejatinya, inilah yang diisyaratkan oleh Allah pada ayat berikutnya. Yaitu “zikra ad-dar” menjadikan seluruh hidupnya fokus berdakwah di jalan Allah. Setiap Muslim hendaknya senantiasa mengajak orang lain mengingat kehidupan akhirat.

Hal ini termasuk dengan dua potensi yang diperintahkan untuk dimiliki tadi. Kelak keduanya hanya bisa bernilai jika benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan perjuangan menegakkan agama. Sebaliknya, jika tidak dimanfaatkan dengan benar, justru ia bisa berubah menjadi bumerang. Menjadi sumber fitnah dalam kehidupan dunia. Sekaligus hanya mempersulit pemiliknya (hujjatun alaihi) di Yaum al-Hisab.

Perbanyak Ingat Akhirat

Bagi seorang Muslim, inilah ketetapan Allah SWT dalam melakoni kehidupan sementara di dunia. Ia sebagai aturan main sekaligus menjadi garis pemisah antara kemuliaan dan kehinaan seorang hamba kelak. Ketika seseorang meniatkan hidupnya di dunia untuk kehidupan abadi di hari Akhirat, niscaya seluruh perilakunya senantiasa terkontrol dengan rambu-rambu syariat.

Tak heran, di penghujung ayat tersebut, Allah SWT menegaskan kembali, kelak mereka itulah yang menjadi manusia-manusia terbaik pilihan Allah. Orang-orang yang seluruh amal perbuatannya bernilai ibadah di sisi Allah. Hal ini lalu disebutkan oleh Imam Abdurrahman Nashir as-Sa’di, hikmah terkait dengan kehendak Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai “al-mushtafaina al-akhyar” kumpulan orang-orang pilihan di sisi Allah. Menurut as-Sa’di, sebab dengan banyak mengingat mati dan kampung akhirat, hati mereka selalu tenang menghadapi godaan dunia. Jiwa mereka kian khusyuk saat beribadah dan menghamba kepada Allah.

Di saat yang lain, orang-orang pilihan Allah itu justru kian bergairah melakukan berbagai amal saleh. Mereka sadar, ilmu itu bernilai jariyah (jaminan pahala yang mengalir) ketika diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Mereka meyakini, kekuasaan itu baru bermanfaat jika dimaksimalkan untuk mengayomi seluruh lapisan masyarakat, bukan sebaliknya. Semata sebagai tameng bahkan topeng untuk mengeruk kekayaan pribadi dan keluarga saja. (Tafsir Taisir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan).

Khatimah

Menjadi orang-orang pilihan tentu menjadi dambaan kita semua. Sejatinya, hal itu bukanlah keinginan muluk-muluk yang tak mungkin dicapai. Ia adalah mimpi dan harapan indah yang bisa kita wujudkan. Syaratnya jelas, pastikan diri ini bermanfaat untuk orang lain.
Semoga dengan itu semua Allah Ta’ala berkenan mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua.