KEKUATAN UNTUK MELAWAN SETAN


الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (An-Nisa [4]: 76)

Muqaddimah

Bagi seorang Muslim, iman yang benar adalah iman yang mampu menggelorakan semangat dalam jiwa. Iman yang benar ialah iman yang tidak sekadar menyatakan kata yakin dengan penuh keyakinan. Namun, ia sanggup mendorong pemiliknya untuk berbuat amal kebaikan dan bersabar atasnya.

Iman tersebut dikatakan nafi’ (bermanfaat) ketika ia tidak diam begitu saja, tanpa ada keinginan untuk berbuat amal saleh. Iman disebut berfungsi jika mengalirkan motivasi yang deras untuk terus bermujahadah (all out) dalam sebuah kebaikan, hingga tiba masanya orang itu mendaki puncak tertinggi amal saleh seorang Muslim, yaitu jihad (berperang) di jalan-Nya.

Makna Ayat

Abdurrahman Nashir as-Sa’di menjelaskan hal tersebut dalam kitab tafsirnya, Taisir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan. Ia berkata, ayat ini bukan sekadar berita yang menceritakan tentang adanya pertarungan abadi antara orang beriman melawan orang kafir. Namun juga perintah yang wajib dilaksanakan bagi setiap orang beriman. Bahkan lebih dari itu, dorongan untuk berjihad dan bermujahadah niscaya lahir dengan sendirinya jika benar orang itu mempunyai keimanan yang baik.

Karena jihad dikatakan benar ketika ia memang bertolak dari dorongan iman semata. Sebab, iman itu pulalah yang kelak bisa mengontrol kualitas jihad dan mujahadah seseorang. Mulai dari mengawal niat yang ikhlas hingga menjaga adab-adab selama menunaikan jihad dan bersungguh-sungguh untuk amal kebaikan yang lain.

Sebagaimana jihad menegakkan kebenaran dan mujahadah untuk beramal saleh adalah buah dari keimanan, pun demikian dengan orang-orang yang memperjuangkan ideologi kesyirikan dan kemaksiatan. Mereka juga punya “dalil” yaitu konsekuensi dari kekufuran dan muamalah mereka dengan thagut. Sejarah panjang kehidupan manusia senantiasa menorehkan catatan, adanya kekuatan al-haq yang selalu mendapat ujian dari kekuatan al-bathil yang juga tak pernah sepi dari pemujanya hingga kini.

Imam as-Sa’di menambahkan, hendaknya setiap Muslim selalu menyadari kandungan ayat di atas. Bahwasannya, selama ini orang-orang kafir begitu bergairah menabuh genderang perang melawan umat Islam. Mereka bersemangat dan bersabar melakukan keburukan dan kemaksiatan. Bahkan ada di antara mereka sampai berani dan rela mengorbankan apa yang dimiliki. Mulai dari waktu, pikiran, tenaga, bahkan hingga harta dan nyawa sekalipun. Lalu bagaimana dengan umat Islam. Adakah di antara kita yang benar-benar telah mengurus agama ini? Adakah kita berani mengklaim jika hidup yang hanya sebentar ini benar-benar telah kita habiskan untuk memperjuangkan agama dan kebenaran?

Di satu sisi boleh jadi kita lantang berteriak menyatakan keyakinan terhadap syariat Islam. Namun di saat yang sama terkadang kita seolah “ragu” dengan kebenaran tersebut. Hal ini terbukti dengan realitas di tengah masyarakat sekarang. Alih-alih memperjuangkan agama dan dakwah, menegakkan shalat berjamaah lima waktu saja kita masih enggan dan bermalas-malasan. Seribu satu alasan lalu dimunculkan untuk menutupi kemalasan tersebut. Jangankan mengurus dakwah atau menggerakan taklim dan pengajian di kantor, sekadar menghadiri ceramah pengajian di masjid samping rumah saja kadang kita harus menyeret kaki yang terus diam.

Rahasia Kelemahan Setan

Salah satu musuh utama seorang Muslim adalah balatentara setan dengan segala tipu dayanya. Hal ini berlaku sejak masa Nabi Adam Alaihi salam yang ketika itu terpedaya dengan bujuk rayu iblis, pemimpin tertinggi dari makhluk setan. Menilik kisah Nabi Adam di atas, tak sedikit di antara umat Islam lalu beranggapan bahwa setan adalah musuh yang kuat dan sulit terkalahkan.

Asumsi tersebut tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sebab semuanya berpulang kepada keimanan hamba itu sendiri. Kekuatan setan sesungguhnya berbanding lurus dengan kadar keimanan yang dimiliki oleh seorang hamba. Ketika kualitas iman sedang naik, bisa dipastikan dengan mudah mengalahkan tipu daya setan. Sebaliknya, jika pertahanan iman sedang down, niscaya setan mudah mengelabuinya.

Sejatinya, tipu daya setan itu sangatlah lemah. Setidaknya hal itu yang diajarkan oleh Allah, Zat yang menciptakan bumi dan langit serta seluruh apa yang ada di dalamnya. Mufassir terkenal Imam at-Thabari menjelaskan hal tersebut. Menurutnya, umat Islam jangan terjebak dengan anggapan setan itu musuh yang kuat.

Setan menjadi semakin kuat karena kita bersikap inferior terhadapnya. Kita merasa lemah dan tidak bisa menghadapinya. Padahal, menurut Imam at-Thabari, ayat di atas menegaskan bahwa kekuatan setan itu lemah jika berhadapan dengan orang beriman.

Tak lain karena kekuatan orang-orang beriman itu bersandar kepada Zat Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Allah telah memberi busyrah (kabar gembira) kepada para hamba-Nya. Siapa saja di antara mereka yang menolong agama Allah, niscaya Allah tak segan menolongnya pula. Kebalikan dari pengikut musuh-musuh Allah, mereka hanya mampu mengais harapan dari tipuan setan dan kekuatan iblis saja. Padahal, setan dan iblis adalah makhluk ciptaan Allah juga yang sangat lemah dan hina di hadapan kemuliaan Sang Khaliq.

Siapa Itu Thagut

Menilik ayat di atas, dalam urusan aqidah, seseorang hanya diperhadapkan pada dua opsi saja. Apakah ia bergabung dalam kelompok fi sabilillah (di jalan Allah) atau ia memilih fi sabili at-thagut (jalan para thagut). Untuk itu, Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin lalu menerangkan makna tersebut dalam karyanya, al-Qaul al-Mufid. Ia berkata, thagut ialah apa dan siapa saja yang diperlakukan manusia dengan melampui batas yang sebenarnya. Baik itu berupa sesembahan misalnya, patung atau berhala. Bisa juga berasal dari sesuatu yang diikuti secara berlebihan seperti tokoh sesat atau ulama yang jahat. Terakhir, thagut juga bisa muncul dari orang-orang yang ditaati di luar batas kewajaran. Tak heran kita biasa menemui orang yang sangat fanatik buta terhadap pemimpin yang sesungguhnya ia justru menghalalkan yang haram dan telah mengharamkan yang halal.