BALADA TIGA DA'I MUDA DI PULAU KERA NTT


Bila pemuda lain lebih suka datang ke kota, tiga pemuda ini malah memilih menjalankan misi suci di pulau terpencil. Tidak ada air. Tidak ada listrik. Juga tidak ada sekolah.


Hari itu para santri Pesantren Abu Hurairah, Sapeken, Madura berkumpul di lapangan. Disaksikan para ustadz, tokoh masyarakat, wali santri, dan pejabat kecamatan, mereka hendak diambil sumpah (bai’at) khususnya santri yang hendak menjalankan tugas dakwah di luar daerah.

Sudah menjadi tradisi di Pesantren Abu Hurairah, santri yang purna masa belajarnya harus menjalankan tugas ke daerah selama setahun. Setelah itu, mereka baru boleh kembali ke pesantren untuk mengambil ijazah.

Di antara santri yang mengikuti bai’at itu adalah Manda Ikramullah (19) dan Firdausin (19). Dua santri kelahiran Sapeken ini mengikuti ikrar sumpah dengan sungguh-sungguh. Mereka memperhatikan setiap kalimat dengan penuh seksama.

Di antara isi bai’at itu antara lain, setiap santri mesti siap ditugaskan di manapun dan kapanpun. Lebih jauh lagi, mereka siap menerima azab dari Allah manakala mengkhianati sumpah.

Tidak hanya santri, orangtua santri juga dibai’at. Isinya, antara lain mendukung sepenuhnya tugas pengabdian anak di manapun dan kapanpun. Orangtua juga disumpah tak bakal menarik anaknya, apapun alasannya kecuali dengan takdir Allah.

Hingga upacara ba’iat usai, Manda dan Firdaus belum tahu hendak ditugaskan ke mana. Baru belakangan tahu, mereka berdua ‘dilempar’ ke Pulau Kera, Nusa Tenggara Timur (NTT). Santri lain ada yang ditugaskan di perbatasan Timor Timur dan Kupang. Ada juga yang bertugas di beberapa daerah di Sulawesi Selatan

Bagi Manda dan Firdaus, Pulau Kera adalah sesuatu yang asing. Di mana dan bagaimana persisnya pulau yang namanya mirip dengan nama binatang itu, mereka belum punya data. Yang pasti, tahu akan bertugas di tempat jauh, rasa sedih sempat menyelimuti hati Manda. “Sedih karena akan jauh dari orang-orang terdekat saya,” katanya kepada Suara Hidayatullah saat ditemui di Pulau Kera.

Bersyukur Manda punya ibu yang bijak. Tahu anaknya lagi galau, ibunya datang memberikan nasihat. “Seorang dai,” kata sang Ibu, “tak boleh mengeluh. Kalian harus hijrah agar tahu jati diri kalian sendiri.”

Mendapat suntikan moril dari orang yang dihormatinya, hati Manda menjadi tenang. Ia pun bersiap berangkat ke medan dakwah. Setelah minta restu orangtua, Manda dan Firdaus bertolak mengarungi laut menuju Bali. Selama 12 jam ia berada di atas gelombang air luat bersama perahu nelayan.

Dari Bali mereka terbang menuju Kota Kupang, NTT, dengan pesawat. Dari pelabuhan ikan Oeba, Kupang, perjalanan disambung dengan perahu tempel sekitar 40 menit. Tidak ada sponsor dalam perjalanan ini, semua biaya dirogoh dari kocek sendiri.

Tantangan Dakwah

Dari Oeba, Pulau Kera hanya terlihat sebagai titik putih. Makin mendekat titik itu makin besar. Luas pulau ini sekitar satu kilometer persegi. Tidak ada hewan kera meski namanya pulau kera, yang ada hamparan pasir putih yang menyilaukan mata karena terpaan sinar matahari. Jika tak biasa, mata terasa sakit.

Masuk agak ke dalam pulau, akan ditemui gubuk-gubuk yang berserakan. Itulah rumah-rumah penduduk. Terbuat dari seng, bambu dan jerami. Gubuk-gubuk itu berukuran 3 x 5 meter. Ada juga yang lebih kecil dari itu.

Di pulau ini tak ada listrik. Tidak ada sekolah dan tidak ada fasilitas kesehatan. Padahal, jumlah penghuninya cukup banyak, 80 kepala keluarga atau sekitar 350 orang. Juga tidak ada air bersih. Untuk keperluan memasak, mereka harus mengambil air dari kota Kupang. Satu jerigen berisi 25 liter dengan harga 2 ribu rupiah.

Kata Syaiful Bahri, ustadz dari Hidayatullah, tiadanya fasilitas umum itu lantaran mereka masih dianggap penghuni liar oleh pemerintah Kupang. Bagaimana tidak, semua penduduk di sana tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Warga sendiri sudah bolak-balik mendatangi pemerintah, tapi hingga kini mereka masih belum diakui sebagai penduduk Kupang. Padahal, kata Ustadz Syaiful, mereka menghuni pulau itu sudah puluhan tahun lalu. “Yang aneh lagi, meski tidak diakui sebagai penduduk, kalau pemilu mereka disuruh mencoblos,” kata Syaiful yang sejak lama sudah membina masyarakat di Pulau Kera bersama dai dari Dewan Dakwah, Ustadz Ramli.

Manda dan Firdaus datang pertama kali pada akhir Juli 2012, bersamaan dengan dai dari Dewan Dakwah, Rabithah. Hati Manda pedih melihat kondisi masyarakat Pulau Kera yang 99 persen Muslim. “Mereka sangat tertinggal dalam segala hal,” katanya. Rabithah menambahkan, “Mereka sudah tiga generasi ini mengalami buta huruf.”

Tantangan berat dihadapi tiga dai muda itu. Terutama tantangan air. “Pernah saya seminggu tidak mandi, karena tak tahan mandi air laut,” kata Rabithah. Sekali mandi ia terpaksa pergi ke Kupang. “Sekarang sudah biasa mandi air asin,” kata dai kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini.

Tetapi Manda bersyukur, Allah Ta’ala masih memberikan kemudahan, kedatangannya diterima dengan baik. Mereka kemudian dibuatkan gubuk berukur 3 x 4 meter. Gubuk itu terbuat dari seng dan bambu yang berlantai pasir. Di beberapa bagian masih nampak bolong sehingga angin leluasa menerobos masuk ke dalam. Manda, Firdaus, dan Rabithah tinggal di situ.

Mereka bertiga, setiap pagi mengajar ngaji anak-anak di masjid yang tak jauh dari gubuk mereka. Kini, ada sekitar 60 anak yang mengaji.

Tak hanya mengaji, setiap sore mereka juga mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Aqidah, dan Akhlak. “Malamnya tidak ada aktivitas, karena tidak ada listrik,” ujar Manda.

Yang sedang mereka pikirkan adalah para remajanya. “Remaja di sini hampir tak ada yang sekolah, padahal jumlahnya cukup banyak,” kata Manda.

Kini, pemuda berkulit hitam manis ini berencana membentuk remaja masjid. Lewat wadah inilah ia hendak menularkan ilmunya kepada remaja di Pulau Kera.

Manda mengaku, jika masyarakat di Pulau Kera menerima dakwahnya mungkin karena mereka berasal dari suku yang sama, suku Bajo. Kesamaan bahasa memudahkan mereka berinteraksi dengan masyarakat Pulau Kera yang mayoritas bekerja sebagai nelayan itu. Tak heran bila pada akhir pekan ia kadang ikut melaut membantu warga mencari ikan. Dari melaut itu ia juga mendapat bagian. “Alhamdulillah, bisa untuk beli jajanan,” katanya.