MENGIKIS SYIRIK DI LERENG DIENG



Tak mudah bagi Sugio Abdul Ghony (Sugio) untuk mengubah tradisi syirik yang telah mengakar kuat di masyarakat Dieng malah acap kali menerima cemoohan bahkan ancaman pengusiran dari warga setempat.

Sugio kaget. Suatu saat, ada seorang wisatawan asal Bogor, Jawa Barat bertanya kepadanya, “Dieng bukannya daerah Hindu. Tapi kok banyak masjid di sini?” Orang tersebut pun tak percaya jika ternyata hampir 99,9 persen penduduk di dataran tinggi Dieng adalah Muslim. “Tidak mungkin jika tak ada seorang pun orang Hindu di Dieng sini,” ujar lelaki yang bernama lengkap Sugio Abdul Ghony.

Namun, anggapan itu bukan saja dari satu atau dua orang. Tak sedikit pengunjung dari luar Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo yang beranggapan Dieng identik dengan Hindu. Menurut Sugio, anggapan itu muncul karena yang kerap terekspos oleh media tentang Dieng adalah ritual yang berbau syirik. Seperti ruwatan rambut gimbal dan sedekah bumi. “Seremonial budaya berbau syirik itu sengaja dilestarikan untuk komoditas pariwisata,” kata pria kelahiran Dieng Kulon, tak jauh dari kompleks candi Arjuna.

Seperti sedekah bumi, misalnya, adalah tradisi sesaji kambing pilihan. Kepala kambing itu dipotong lalu ditanam di tengah-tengah desa. Begitu juga dengan keempat kakinya. Setali tiga uang dengan pemotongan rambut gimbal. Hal itu harus dilakukan secara seremonial dan dengan syarat tertentu. Salah satunya, pencukuran itu harus dengan kehendak sang bocah dan memenuhi permintaan bocah tersebut. Jika tidak, konon gimbal tersebut bakal tumbuh kembali dan bisa mendatangkan bala. Belum lagi dengan tradisi berbau syirik lainnya yang masih kental di masyarakat yang membuat Sugio gerah.

“Tradisi berbau syirik, khurafat, dan bid’ah hampir ada di berbagai acara masyarakat. Mulai dari pernikahan, kelahiran, khitanan, hingga ke masalah kematian,” ujar lelaki yang pernah nyantri di Pesantren Ngruki, Solo ini.

Mendapat Tantangan

Melihat itu, Sugio pun tergerak untuk menyelamatkan aqidah umat Islam. Suami dari Siti Rohyatin ini berniat mengikis tradisi syirik yang telah turun temurun dan mengakar kuat di masyarakat. Maka selepas keluar dari Ngruki tahun 1998, ia langsung tancap gas. Ketika itu, ia melihat jamaah shalat di desanya hanya waktu shalat Maghrib dan Isya’. Selain itu, kebiasaan mereka sering mengakhirkan waktu shalat. Tak pelak, masjidnya pun sepi jamaah. Padahal, Masjid Nurul Huda di desanya cukup besar dan megah. Masjid ini berlantai dua dan bisa menampung ratusan jamaah. Ia lalu berinisiatif memakmurkan masjid.

Ia juga menggarap anak-anak dengan mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPA) Nurul Huda. Kini, di samping masjid yang megah itu, telah berdiri gedung TPA dengan beberapa ruang kelas yang cukup representatif. Sambutan masyarakat pun cukup menggembirakan dengan adanya anak-anak yang belajar membaca al-Qur`an. Sekarang, ada sekitar 136 santri. “Awalnya lebih dari 200 santri. Namun, gara-gara ada pihak yang tidak suka, santrinya pelan-pelan merosot,” ujarnya.

Bukan saja santrinya saja yang menurun, dakwah Sugio lambat laun juga mendapat tentangan dari masyarakat. Itu bermula saat ia mulai menyinggung masalah tradisi yang dianggapnya berbau syirik. Sugio dalam ceramahnya di berbagai forum memang menyinggung ruwatan cukur rambut gimbal dan sedekah bumi yang termasuk syirik dan tidak ada ajaranya dalam Islam. Aqidah Islam, katanya, tidak boleh dikotori dengan hal-hal yang bisa mempersekutukan Allah.

Karena dakwahnya yang keras itu, tak sedikit yang menuding Sugio dai yang suka melarang. “Saya sampai dijuluki dai yang suka melarang ini dan itu,” tuturnya. Meski begitu, ada juga yang mulai sadar dan menerima dakwah Sugio. Mereka pelan-pelan meninggalkan tradisi syirik dan khurafat. “Alhamdulillah, kini sudah banyak yang sadar dan tidak lagi melakukan hal-hal seperti itu,” ujarnya.

Namun, masalah datang justru dari salah seorang tokoh masyarakat yang tidak suka padanya. Ia menuding ajaran Sugio sesat. Ia selalu mencari kesalahan dakwahnya. Tidak hanya itu, kata Sugio, ia juga memprovokasi masyarakat untuk tidak mengaji kepadanya. Lebih parah lagi, ada yang punya niat untuk mengusir Sugio dari desa yang telah membesarkannya itu.

“Ada selentingan kalau saya mau diusir. Tapi, alhamdulillah hingga kini belum terjadi,” tuturnya.

Meski aral melintang dakwahnya begitu besar, langkahnya tidak surut ke belakang. Ia tetap berjuang sekuat tenaga. Menurutnya, dakwah membutuhkan pengorbanan. Ia selalu berdoa pada Allah agar selalu dalam perlindungan-Nya.

Sugio pernah merasakan buah manisnya dakwah di Dieng yang eksotis itu. Dulu ia sempat berhasil mendidik beberapa anak muda hingga menjadi kader Islam yang militan. Remaja yang masih duduk di bangku SMA itu dibina akhlaknya, cara berpakaian, dan bergaul. Mereka juga diajak memakmurkan masjid. Bahkan Sugio sempat menikahkannya. “Ada sekitar tiga anak yang berhasil saya nikahkan,” tuturnya.

Namun, lagi-lagi karena pengaruh dari orang lain, pelan-pelan dakwahnya terjegal. Banyak orangtua yang melarang anak mereka mengaji kepada Sugio. Termasuk para kadernya, lambat laun berkurang. Katanya, ajaran yang dibawa lelaki berjenggot tebal ini dianggap aneh. Entah kenapa, Sugio pun bingung.

Memberi Manfaat

Dieng adalah daerah pariwisata. Udaranya sejuk, bisa mencapai 15 derajat celcius di siang hari. Dieng juga menyuguhkan banyak objek wisata. Yang paling terkenal di antaranya Kompleks Candi Arjuna dan Telaga Warna. Setiap hari, khususnya Sabtu dan Ahad ratusan pengunjung baik domestik maupun luar negeri datang ke tempat ini. Hal itu dimanfaatkan pemerintah setempat untuk menjadikan acara sedekah bumi dan ritual cukur rambut gimbal untuk mengundang wisatawan.

Sebagai tempat wisata, tentu banyak pengunjung dengan berbagai macam kalangan. Sugio khawatir jika Dieng dibanjiri tempat maksiat. Oleh karena itu, sejak jauh-jauh hari ia berpesan kepada kepala desa untuk tidak mengijinkan pendirian tempat hiburan seperti karaoke dan sebagainya. Di Dieng, katanya, belum ada satu pun tempat karaoke.

“Saya sudah pesan kepada kepala desa untuk menjaga Dieng dari tempat yang bisa merusak iman,” terangnya.

Di sela-sela dakwah dan mengajar ngaji di TPA setiap sore, Sugio sibuk di ladangnya dengan menanam kentang. Dari menanam kentang itulah, ia memenuhi kebutuhan keluarganya. Kini, tekadnya cuma satu: keberadaannya harus memberikan manfaat dan perubahan bagi masyarakat.