KISAH BUJANGAN "MULYANA" MEMBANGUN PESANTREN DI BANJAR


Bermodalkan keyakinan kepada Allah, dalam waktu 1,5 tahun sudah mampu membangun pesantren. Sempat dicurigai warga dan diinterogasi aparat desa.


Setelah menempuh perjalanan dari Tasikmalaya menuju Banjar dengan sepeda motor selama satu jam, tibalah Mulyana (26) di tempat yang dituju. Tepatnya di Blok Pagak Dusun Pangasinan, Desa Binangun, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar.

Kota Banjar merupakan kota kecil yang terletak di Jawa Barat Selatan, pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Kota perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah ini di apit oleh Kabupaten Ciamis dan Pangandaran. Meski kota, topografi Banjar terdiri dari pegunungan dan perbukitan. Masyarakatnya pun masih tradisional.

Karena tempat yang dituju belum ada bangunannya, Mulyana langsung menuju masjid sekalian menunaikan shalat Ashar. Setelah shalat, ia bergegas melapor ke Ketua RT setempat. Usai berbasa-basi sejenak Mulyana pun memperkenal diri: asal serta tujuan ke desa tersebut.

“Alhamdulillah, saya diterima dengan baik oleh Pak RT,” kata Mulyana. Ia menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke Banjar, yakni ingin berdakwah sekaligus hendak mendirikan pesantren.

Namun rupanya Ketua RT belum 100 persen percaya dengan niat baik Mulyana. “Kita musyawarahkan dulu dengan pengurus desa,” katanya.

Kecurigaan dan kekhawatiran aparat desa sangat beralasan, mengingat kedatangan Mulyana ke Banjar bertepatan dengan peristiwa penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, tokoh yang dituduh teroris oleh kepolisian. Sehingga mereka lebih waspada kepada pendatang baru atau orang asing di daerahnya.

Pada malam harinya, usai shalat Isya, Mulyana “disidang” oleh pengurus desa di sebuah masjid. Ragam pertanyaan pun dilontarkan kepadanya dari sekadar gurauan hingga yang serius.

Karena Mulyana saat itu membawa tas lumayan banyak, ia dikira pedagang yang hendak berjualan. Menanggapi hal itu Mulyana hanya tersenyum. Ia sadar, mungkin bagi sebagian orang penampilan dan gaya bicaranya tidak meyakinkan sebagai seorang dai.

“Sidang” itu berlangsung cukup lama hingga menjelang larut malam. Jengkel karena merasa tidak kunjung ada keputusan, akhirnya Mulyana memberi ultimatum: jika diizinkan tinggal dan bermalam ia akan istirahat, namun jika tidak maka saat itu pula ia akan pulang lagi ke Tasikmalaya. Mendengar ultimatum Mulyana, peserta rapat kembali berdiskusi dan hasilnya Mulyana dibolehkan bermalam di rumah Ketua RT.

Selang beberapa saat kemudian Abu Amar, Ketua Hidayatullah Tasikmalaya menelepon Mulyana. Intinya, jika warga menolak dan menyuruh balik, ya pulang saja. Sebab, menurut pengakuan Abu Amar, ada seorang polisi menelepon ke handphonenya menyangka Mulyana seorang teroris. Demi keamanan Mulyana, Abu Amar minta dirinya kembali ke Tasikmalaya.

Mulyana hanya tersenyum menerima telepon dari Abu Amar. “Saat ditelepon saya sedang menyantap jamuan dari Ketua RT,” ujar lajang asal Cirebon ini.

Mengemban Amanah

Keesokan harinya ia meluncur menuju ke lokasi tanah wakaf yang akan dijadikan pesantren. Namun yang didapati hanya semak belukar dan tumbuhan yang tidak terurus. Kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah Mulyana untuk maju dan membangun pesantren.

Selain semak belukar, di lokasi tersebut juga belum ada bangunan tempat tinggal meski hanya sebuah gubuk. Untuk itu, Mulyana mengontrak rumah sederhana selama 6 bulan dengan biaya Rp 200 ribu per bulannya. Dalam perjalanan waktu, Mulyana lalu mengelola tanah wakaf seluas 8.520 meter persegi dari seseorang bernama Degeng. Dibantu seorang santri yang dibawa dari Tasik, Mulyana mulai membabat pohon dan semak belukar.

Jalan dakwah yang ditempuh Mulyana tidak semudah yang dibayangkan. Niat baik tak selamanya diterima dengan baik. Suatu malam, ia bersilaturahim ke warga sekitar. Satu persatu rumah warga ia kunjungi. Tetapi bak disambar petir, tiba-tiba ada salah satu warga yang menghardiknya, “Kalau kamu mau bangun pesantren, bangun saja. Jangan banyak omong!”

Tanpa pikir panjang Mulyana langsung pamitan. Ia tak menduga bakal mendapat bentakan seperti itu. Padahal, orang tersebut nampak baik dan menerima kehadirannya.

Mendapat perlakukan demikian tak menciutkan semangat Mulyana. Ia justru semakin tertantang. Ia terus memotivasi diri bahwa pasti ada kemudahan di balik kesulitan yang menghadang.

Sudah hampir 6 bulan, Mulyana masih dipandang dengan penuh curiga. Tapi ia tidak peduli dan tetap berdakwah. Pagi hingga siang ia gunakan untuk menyiapkan bangunan pesantren, sementara sore harinya mengajar mengaji di masjid dan madrasah, juga mengisi pengajian ibu-ibu. Usai shalat Maghrib, ia pergunakan untuk bersilaturahim ke warga sekitar.

Pada sepertiga malam, ia mengajak warga shalat Tahajjud. Eh, Bukan disambut dengan baik, ia justru dicemooh dan dicibir. Beberapa warga bilang, shalat Tahajjud tidak perlu berjamaah di masjid, cukup di rumah masing-masing. Lagi-lagi Mulyana tidak putus asa. Sambil memahamkan keutamaan Tahajjud, tiap malam ia terus mengajak warga. Alhasil, pada minggu pertama ada empat warga yang ikut shalat Tahajjud berjamaah. Hari-hari selanjutnya jumlahnya semakin bertambah, bahkan beberapa ibu juga larut dalam shalat malam tersebut. Salah satunya Aisyah (50). Ibu tiga anak ini rajin mengikuti ajakan Mulyana.

“Alhamdulillah, setelah ikut Tahajjud hati jadi tenang dan badan terasa lebih enak,” ujar janda ditinggal mati suaminya. Aisyah juga mengaku rezekinya bertambah lancar. “Dulunya seret, buat makan saja susah,” kata ibu yang kesehariannya membuka warung nasi.

Jika awalnya hanya diikuti para orangtua, pada akhir pekan atau hari libur sekolah para remaja pun ikut larut dalam kekusyukan shalat sunnah yang sangat dianjurkan itu.

“Alhamdulillah, karena Allah semua ini terjadi, masyarakat akhirnya menerima saya dengan baik. Beberapa anak warga juga dipercayakan ke saya untuk dibina,” ujar alumni STAI Tasikmalaya Jurusan PAI ini.

Kini, setelah 1,5 tahun berjalan, Pesantren Hidayatullah Banjar telah berdiri. Di atas tanah yang dulunya seperti tak bertuan itu, kini sudah berdiri bangunan semi permanen sebagai asrama santri. Cita-citanya, selain membangun sekolah berbasis pesantren dengan program tahfidz Qur’an, Mulyana juga ingin membangun sekolah non formal.

Bukan hanya pendidikan, ia juga mulai membangun ekonomi produktif. Di antaranya, penanaman pohon karet, jabon, albasiah, dan peternakan ikan.

“Berawal dari semangat dan keyakinan penuh kepada Allah Ta’ala, saya berangkat untuk memenuhi panggilan dakwah. Bagaimanapun keadaan dan kondisinya, Allah pasti bersama saya. Berbekal keyakinan itu yang sulit jadi mudah, yang sukar jadi gampang, dan yang tidak mungkin jadi mungkin,” tutur Mulyana.