SUSAH DULU BARU MUDAH KEMUDIAN


Sekelompok remaja nongkrong di teras sebuah masjid. Mereka bernyanyi-nyanyi sambil memetik gitar. Tak lama kemudian datang Ibrahim Hamdani, seorang ustadz dan guru ngaji di masjid tersebut. Dengan lembut Ibrahim menyapa, “Assalamu’alaikum.”

Bukannya menjawab salam, mereka malah menyanyi lebih keras. Sesekali ditingkahi tawa dan canda yang terdengar disengaja. Ibrahim mencoba mengulangi sambil meminta mereka keluar dari masjid. “Mohon maaf, main gitarnya di luar saja, mau dipakai shalat dan belajar mengaji.”

Entah setan mana yang merasuk ke hati mereka. Bukannya menjawab, mereka justru marah. “Di luar…di luar…! Kamu yang keluar dari sini. Ngaji apaan…!” hardik salah satu pemuda sambil berdiri.

Ibrahim terkesiap. Hampir saja ia membalas bentakan itu. Syukurnya, ia segera bisa menguasai diri. Sambil tetap tersenyum ia bertanya, “Apa masalahnya?”

Lagi-lagi dengan nada tinggi dan disertai kata-kata kotor para pemuda tersebut malah menantang Ibrahim. Adu mulut dan saling dorong tak terhindarkan. Untungya, ada salah seorang warga melintas yang segera melerai keributan.

Inti dari adu mulut itu, mereka tidak ingin Ibrahim berdakwah di kampung tersebut. Jika Ibrahim bergeming, mereka tak segan-segan terus mengganggu. Alhamdulillah, insiden itu dapat diselesaikan dengan damai. Ibrahim tetap diminta tinggal di desa tersebut sambil terus mengajar mengaji anak-anak.

“Itulah kesan dan cobaan pertama saya dakwah di daerah Garut,” kenang Ibrahim saat berdakwah di Kampung Pasir Ekek, Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Beberapa tantangan lain kerap datang menghampiri. Hinaan dan ancaman pernah ia alami. Salah satunya, saat ada seseorang yang mengancamnya dengan golok yang terhunus. Kata Ibrahim, orang tersebut menantangnya untuk duel satu lawan satu. Dengan sabar dan tenang, Ibrahim tidak melayani orang tersebut. Ia lebih memilih mengalah dengan cara menghindar lalu bergegas pulang.

“Tidak tahu masalahnya apa, ada saja yang mengganggu dan mencari gara-gara,” kata Ibrahim.
Ia sadar, pada jalan dakwah selalu saja ada onak dan duri. Menghadapi itu semua, ia hanya sabar dan meminta perlindungan hanya kepada Allah SWT.

Beternak dan Berkebun

Kiprah dakwah pria kelahiran Banten, 2 Juni 1975 ini bermula setelah ia menyelesaikan pendidikan di sebuah pesantren di Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Ia diminta untuk mengelola madrasah yang didirikan oleh sang ayah. Tak lama, tahun 2010, pria yang juga pernah menuntut agama di Pesantren Nurul Bayan, Banten ini diminta untuk mengelola sebuah pesantren di Garut, Jawa Barat. “Pesantren itu sudah mati bertahun-tahun, saya diminta menghidupkan kembali,” tambah Ibrahim.

Pesantren yang sudah ada asrama, ruang kelas, rumah pengasuh, dan masjid itu sudah lama kosong. Walhasil, kata Ibrahim, tempat itu sering dijadikan tempat pacaran. Untuk memulainya kembali, Ibrahim mencoba mengajak warga sekitar untuk shalat dan mengaji di masjid. Hanya saja, saat pesantren mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pemiliknya dilanda konflik kepentingan. “Ada ahli waris yang menentang pesantrennya diwakafkan ke lembaga Hidayatullah,” ujar Ibrahim.

Daripada terus berkonflik, akhir tahun 2012, Ibrahim dipindahtugaskan ke Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dakwah memang sudah menjadi jalan hidupnya, makanya ia tak perlu berpikir lama untuk menerima penugasan baru itu.

Di tempat baru itu, belum ada tempat tinggal yang bisa ia tempati. Terpaksa, istri dan enam anaknya dititipkan sementara di rumah mertua, di Banten. “Sementara waktu saya menumpang di masjid,” aku Ibrahim. Alhamdulillah, tiga bulan berselang, warga yang melihat kesungguhan dakwah Ibrahim membuatkan rumah panggung yang dindingnya terbuat dari bambu. “Alhamdulillah, anak-anak betah di sini,” kata Ibrahim yang langsung memboyong istri dan anak-anakya.

Di Padalarang, tutur Ibrahim, masyarakatnya menyokong dakwah Ibrahim. Meski demikian, bukan berarti tak ada tantangan. “Tantangan selalu ada, meski dalam bentuk lain,” katanya. Misalnya, ujar Ibrahim, tahayul dan khurafat. “Lucunya, saat menyembelih hewan kurban saja, mantra dan sesajen harus disediakan,” katanya.

Ibrahim tidak menghadapinya dengan frontal. Ia mendekatinya secara kekeluargaan dan dialog, seraya memberi penjelasan. Cara inilah yang membuat Ibrahim bisa diterima dan tidak dimusuhi oleh penduduk yang belum shalat. Agar lebih dekat dengan masyarakat, Ibrahim kerap menggunakan bahasa Sunda saat mengisi pengajian. Demikian juga Ibrahim dalam hal shalat, meski dirinya tidak biasa membaca qunut saat shalat Subuh, namun di saat memimpin shalat itu ia mencoba beradaptasi dengan membacakan qunut.

Selama di sana, Ibrahim berdakwah di setiap kalangan. Di kalangan bapak-bapak, ia memberikan kajian akidah, akhlak dan tafsir al-Qur’an. Sementara di kalangan ibu-ibu, Ibrahim memberikan kajian fikih. Tak hanya itu, di kalangan pemuda pun, ia memberikan kajian kitab kuning dengan cara yang lebih mudah, bahkan mengajak para pemuda untuk melaksanakan shalat Tahajjud secara berjamaah di masjid.

“Biasanya pada malam Ahad atau saat ada hari libur agar jadwal sekolah mereka tidak terganggu. Awalnya hanya beberapa anak saja yang ikut. Alhamdulillah, sekarang sudah banyak, bahkan sampai dua shaf,” ujar Ibrahim yang juga mengajar 60 anak-anak di TPA setiap ba’da shalat Maghrib.

Alhamdulillah, dari dakwah ini, kata Ibrahim, masjid sudah mulai di datangi masyarakat untuk beribadah. Seperti saat shalat Jumat, di awal kehadirannya ke daerah tersebut hanya dua shaf, kini sudah mencapai empat shaf.

Saat ini, Ibrahim ditemani santri mukim sebanyak 10 anak. Ada yang berasal dari sekitar Jawa Barat, ada juga dari Banten. Setiap bada Subuh mereka mengkaji kitab kuning dan bada Isya’ menyetor hafalan Qur`an. Usia mereka rata-rata antara 8 hingga 13 tahun. Mereka sekolah yang letaknya di luar desa dengan berjalan kaki. Kini, mereka menempati rumah permanen dengan luas 60 meter persegi. Rumah tersebut dibangun atas bantuan seorang donatur.

Untuk menunjang aktivitas dan mengisi waktu senggangnya serta memanfaatkan lahan kosong yang ada, Ibrahim berkebun singkong dan labu. Sebagian mereka konsumsi sendiri dan sebagian lagi dijual untuk tambahan biaya dapur. Selain itu, Ibrahim juga membuat kandang domba untuk pembesaran dengan cara bagi hasil. Saat mendekati Idul Adha tiba, domba tersebut mereka jual.

“Kebun labunya masih sedikit, sekali petik kadang dapat 20 kilogram. Sebagian kita jual, namun sebagian kita makan sendiri,” pungkas Ibrahim.