1. Pada awal perkembangan Agama Islam, Sayidina Umar bin Khattab pernah menegur seorang pemuda yang kerap dilihatnya berdoa dalam mesjid. Tidak siang tidak malam, pemuda itu selalu duduk tekun untuk berzikir, berdoa, berzikir lagi, berdoa lagi. Karena penasaran, suatu ketika Sayidina Umar menanyainya:
“Apa sesungguhnya yang engkau doakan, anak muda?”
“E….eh.., begini, Tuan. Saya berdoa supaya Tuhan membukakan pintu rejeki untukku. Supaya keluargaku mendapat berkah makanan dan pakaian yang cukup. Supaya…..”
“Kalau begitu,” Sayidina Umar menyelanya, “Enyahlah engkau dari dari hadapanku. Disini bukan tempat untuk meminta roti dan pakaian. Pergi, sana, bekerja! Menggembala ternak, bercocok-tanam, atau apa saja yang bisa engkau lakukan dengan tangan dan kakimu!”
Pemuda itu beringsut pergi dengan malu, menyadari kekeliruannya. Sejak saat itu ia rajin bekerja, sampai akhirnya ia berhasil memiliki harta kekayaan.
2. Seorang tua keluar dari Rumah Sakit di Singapura dengan wajah tegang dan marah. Ia baru saja berkonsultasi dengan dokter mengenai penyakit jantung yang dideritanya. Dokter mengatakan ia mesti menjalani tranpalantasi jantung untuk memperpanjang hidupnya. Jika tidak, harapan hidupnya tinggal 3 bulan lagi.
Dokter itu juga menjelaskan bahwa jantung yang akan dicangkokkan berasal dari monyet Afrika (gorilla atau baboon). Jika berhasil ia bisa hidup 3 tahun lagi. Jika gagal ia terpaksa didorong masuk lemari pendingin setelah keluar dari ruang operasi.
“Kalau begitu….,” pasien itu menjawab, “Saya putuskan pulang ke Indonesia sekarang juga. Persetan dengan transplantasi jantung. Saya tak mau mati dengan jantung monyet di dalam dadaku. Lebih baik kubawa jantungku sendiri….!”
Lalu ia keluar. Di pintu gerbang ia temukan seorang pemuda berwajah memelas termenung di suatu pojok. Sepertinya sedang berpuasa, padahal saat itu bukan bulan puasa.
“Apa yang kau risaukan, anak muda!”
“Beginilah, Pak Tua, nasib pengangguran. Kerja sulit, pemerintah cuek, keluarga miskin. Saya tidak punya apa-apa dalam kehidupan ini. Sudah tiga hari saya terpaksa memakan kulit pisang……!”
Orangtua itu geleng-geleng kepala. Betapa sumirnya dunia ini. Seorang pemuda berbadan sehat, yang ‘kemudaannya’ tak bisa dinilai dengan segunung emas, mengaku kesulitan memperoleh makanan. Akhirnya orangtua itu berkata:
“Begini anak muda. Aku punya kekayaan ratusan milyar, bisa saja kita tukarkan untuk membeli ‘kemudaanmu’. Kau menjadi orangtua yang sakit-sakitan, sedangkan aku menjadi pemuda sehat sepertimu…”
“Apa maksudnya…?!!”
“Maksudku, engkau adalah tolol, dungu, lebih bodoh dari kambing. Kau punya harta kekayaan tetapi tidak menyadarinya. Kau punya kesehatan tetapi tidak menggunakannya. Menyedihkan sekali, tak patut untuk dikasihani……!”
Mendengar ocehan itu, pemuda itu langsung tersadar, betapa alpa-nya ia selama ini. Ia bergegas pulang ke rumahnya untuk mengambil cangkul. “Aku akan ke tepi laut sekarang. Aku akan melakukan apa pun, termasuk menyeret batu karang……!”