FENOMENA PEREMPUAN BERJILBAB YANG TERSANDUNG HUKUM


Fenomena jilbab bagi para perempuan yang tersandung kasus hukum seperti korupsi yang sering kita lihat di media massa. Fenomena ini cukup menyita perhatian publik. Jilbab seakan hanya menjadi topeng sehingga melunturkan makna kesalehan terhadap agama.

Fenomena jilbab topeng sudah menjadi berita utama di berbagai media massa. Maraknya pelaku kriminal seperti koruptor yang mendadak mengenakan jilbab menarik untuk dikaji. Fenomena seperti ini disebut oleh Kris Budiman sebagai kebohongan visual.

Kebohongan Visual

Deretan tersangka pelaku kriminal yang mendadak mengenakan jilbab seperti Malinda Dee dalam kasus penggelapan dana nasabah Citibank dan Neneng Sri Wahyuni tersangka kasus korupsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Juga masih terdapat beberapa nama perempuan lainnya yang mendadak berjilbab ketika tersandung kasus hukum.

Mereka yang mendadak mengenakan jilbab ini tentu memunyai motif atau tujuan. Karena seperti yang kita ketahui dalam kesehariannya mereka tidak mengenakan atribut simbol kesalehan tersebut.

Layaknya pementasan, mereka terlihat anggun dalam balutan jilbab dan busana yang tertutup dalam persidangan. Busana sandiwara yang ia kenakan hanya sebagai topeng atau kedok untuk melakukan kebohongan visual.

Motif pelaku kebohongan visual ini selain hanya ingin menyembunyikan wajah asli mereka, juga untuk menampik citra buruk akibat kasus kriminal yang telanjur mereka lakukan. Mungkin citra yang hendak dibangun bahwa mereka tidak seburuk yang dibayangkan publik.

Demi meminta belas kasihan dan pencitraan, mereka melakukan kebohongan visual di balik topeng jilbab. Tentu publik tidak mudah tertipu dengan sandiwara murahan yang mereka pentaskan. Publik tetap akan fokus kepada kasus hukum yang mencederai banyak pihak.
Kebohongan visual seperti ini erat kaitannya dengan kajian semiotika visual. Dalam konsep semiotika visual, kevalidan makna visual dapat diuji melalui beberapa aspek. Sehingga simbol atau tanda tidak bisa diambil hanya pada satu pemaknaan, tetapi harus dihubungkan dengan tanda-tanda yang lainnya.

Dalam kasus ini, jilbab yang seharusnya menjadi simbol suci/luhur sebagai tanda religiositas atau ketundukan pada ajaran Islam mengalami pergeseran makna. Jilbab tidak lebih hanya sebagai topeng untuk mengaburkan identitas perempuan yang tersandung hukum.
Dalam persidangan, bagi pelaku tindak kriminal memang diharuskan untuk berbusana sopan dan rapi. Namun, tidak ada sebuah aturan tertulis untuk mengenakan simbol agama seperti baju koko, jilbab, maupun cadar.

Mereka bebas untuk berbusana dengan beberapa pertimbangan psikologis. Entah itu karena memang menghargai pengadilan atau memang sebagai wujud kesadaran untuk melakukan perubahan ke arah yang baik.

Hemat penulis, melihat fenomena seperti ini tidak lebih hanya sebuah sikap malu untuk menunjukkan identitas asli terdakwa kepada khalayak. Mereka lebih suka bersembunyi di balik cadar seperti yang dilakukan Yulianis ketika menghadiri persidangan dalam kasus korupsi wisma atlet.

Citra Buruk

Teror atau ancaman ketika identitas wajah diketahui khalayak mungkin bukan alasan penting untuk dikemukakan, seperti pengakuan Yulianis ketika ditanya perihal cadar yang ia kenakan ketika persidangan.

Kedok yang mereka kenakan tidak lebih hanya sebuah sikap pengecut untuk menghindar dari beban sosial berupa citra buruk di tengah khalayak. Sehingga upaya pengaburan identitas seperti ini pun mereka lakukan.

Di masa mendatang, perlu adanya sebuah aturan jelas dalam persidangan untuk mengatur busana semacam seragam bagi para pelaku kriminal. Agar para pelaku kriminal tersebut tidak seenaknya berlindung di balik simbol-simbol agama yang nantinya bisa berujung pada pendiskreditan agama tertentu.

Perilaku kriminal yang tidak bermoral seperti korupsi tidak akan luntur hanya karena mereka berjilbab atau bercadar. Beban moral dan sosial yang timbul akibat perilaku mereka tidak akan hilang dalam sekejap.

Apalagi jilbab dan cadar itu dipakai hanya saat persidangan berlangsung. Publik sudah cukup cerdas dalam melihat dan menilai fenomena ini.