KAYA BERSYUKUR ATAU MISKIN YANG SABAR


“Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang berterimakasih.” (Saba [34]: 13)

Seandainya diadakan jajak pendapat, mana yang Anda pilih menjadi orang kaya yang bersyukur atau menjadi orang miskin yang bersabar? 

Kami yakin bahwa sebagian besar akan memilih yang pertama: menjadi orang kaya yang bersyukur. Hal itu tak perlu diperdebatkan lagi, sekalipun sebagian ulama masih ada yang berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama daripada orang miskin yang bersabar atau sebaliknya. Orang miskin yang bersabar lebih besar pahalanya dibandingkan dengan orang kaya yang bersyukur.

Sebagian besar orang miskin memang karena keadaan atau karena terpaksa, misalnya karena tidak punya keterampilan bekerja atau karena tidak memiliki modal yang cukup. Ada yang jatuh miskin karena bangkrut. Ada juga orang miskin, sekalipun sudah bekerja banting tulang, siang sampai malam, tetapi hidupnya tetap miskin.

Ada juga orang yang miskin karena pilihan. Ia miskin bukan karena tidak diterima bekerja di sebuah perusahaan, bahkan banyak lapangan kerja yang siap menampungnya. Ia miskin karena ia dengan sadar memilih menjadi miskin.

Rasulullah SAW salah satu contohnya. Pada mulanya beliau adalah orang yang kaya dan sukses secara materi. Tetapi karena pilihan keyakinan, beliau mengorbankan semua kekayaannya, bahkan dirinya sendiri untuk perjuangan.

Di antara kader Hidayatullah banyak di antaranya yang “menjual diri”, dalam arti bahwa mereka telah mengorbankan profesi, pekerjaan, dan kariernya demi dakwah. Alasannya sederhana, karena keterpanggilan hati pada dunia dakwah.
Kemiskinan karena idealisme seperti itu tentu saja lebih utama dan pahalanya lebih banyak. Mereka dengan sadar telah memilih jalan hidupnya. Orang-orang seperti ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan orang miskin karena terpaksa.
Sekalipun demikian, menjadi miskin karena sebuah pilihan atau karena terpaksa, tetaplah suatu keadaan yang tidak ideal. Jika ada kesempatan untuk berusaha, maka kita harus melakukan dengan sekuat daya untuk mengubah keadaan tersebut. Secara khusus, bahkan Rasulullah SAW mengajarkan kita dengan beberapa doa, di antaranya:

“Ya Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian diri, dan kekayaan.” (Riwayat Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) dari Ibnu Mas’ud)

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kezaliman orang yang zalim. (Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim dari Abu Hurairah)
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan kemunafikan.” (Riwayat Hakim dan Baihaqi dari Anas)

Kepada saudaraku yang telah memilih jalan dakwah dan karenanya “tidak beruntung” secara materi, bersabarlah. Insya Allah, kesabaran itu akan mengangkat derajat kita di dunia dan di akhirat. Jangan pernah menyesali pilihan tersebut, Allah SWT telah menyiapkan pahala berupa surga.

Meskipun demikian, tetaplah berusaha untuk memperbaiki nasib agar segera keluar dari kemiskinan dan kefakiran. Muru’ah kita harus tetap dijaga.

Kepada saudaraku yang telah diberi kelebihan rezeki yang cukup, jangan pernah lupa bersyukur kepada Allah SWT dengan menolong agama Allah dan menolong sesama. Wallahu a’lam.