ASBUN...! BAGAI TONG KOSONG NYARING BUNYINYA

Tong Kosong Nyaring Bunyinya, sepertinya peribahasa ini tidak asing lagi kedengarannya ditelinga orang awam. Kalau pada jaman sebelum berkembangnya teknologi IT, atau katakanlah penggunaan internet belum berkembang di Indonesia, maka peribahasa ini sudah pasti sepenuhnya dapat diterima oleh semua kalangan dan disetujui pengartiannya. 

Tetapi pada jaman sekarang ini, bila seseorang menyebutkan istilah ini yang ditujukan kepada seseorang yang ASBUN (asal bunyi) tatau ngomong doank, maka istilah peribahasa ini tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengapa demikian? Karena dijaman yang katanya moderen sekarang ini ternyata Tong yang kosong bila di beduk belum tentu mengeluarkan bunyi yang nyaring, knapa?

Jaman industrialisasi yang demikian maju membuat udara sekitar sudah terkontaminasi dengan berbagai unsur polutan sehingga bila hujan turun disuatu kawasan yang banyak industrinya maka air hujan itu sudah mengandung asam dengan sifat korosif yang tinggi. Bila hujan dan bahkan udara yang sudah bersifat korosif ini mengenai tong yang kosong maka akan timbul perkaratan. Bila perkaratannya sudah sedemikian tinggi maka tong tersebut sudah tidak nyaring lagi bila dipentung dan suara yang timbul hanya bug… bug… bug… 

Tong Kosong Nyaring Bunyinya, bila diumpamakan kepada seseorang adalah seseorang yang banyak bicara tetapi tidak mempunyai arti dan makna, atau istilahnya omong kosong, omong doang alias hanya membual. 

Apa kira-kira arti dan pengertian ‘Tong Kosong Nyaring Bunyinya’ terutama pada masa dahulu sebagai awal berkembangnya istilah ini, khususnya di Indonesia? Kalau kita kilas balik kepada tahapan sejarah berkembangnya negara Indonesia, maka pengertiannya akan berubah makna sesuai jamannya. 

Semasa awal pergerakan menuju terbentuknya negara Indonesia, semua pemuda, cerdik dendekia berkoar-koar menyuarakan kemerdekaan, tidak terbatas dari segala suku yang ada di nusantara, karena merasa senasip sepenanggungan terjajah oleh bangsa Belanda dan bangsa Jepang. Banyak kelompok yang menyuarakan tuntutan perjuangan untuk merdeka. Ada semacam ikrar pemuda yang merumuskan perjuangannya yang dikenal sekarang dengan Sumpah Pemuda. 

Apakah suasana ini dapat kita sebut sevagai ‘Tong Kosong Nyaring Bunyinya?’ Kenyataannya bahwa ikrar yang diperjuangkan oleh para pemuda masa itu menjadi kenyataan yang disebut kemudian sebagai Sumpah Pemuda, dan nyatanya pula bahwa Nusantara menjadi satu kesatuan dari Merauke sampai ke Sabang yang disebut sebagai Satu Tanah Air. Memahami pula satu bahasa sebagai bahasa lingua-franca di Nusantara, mencoba untuk menyebut sebagai satu bangsa yang disebut bermerekkan Indonesia. 

Bahwa perjuangan yang diserukan itu kemudian berwujud menjadi sebuah Negara Indonesia telah membuktikan bahwa istilah Tong Kosong Nyaring Bunyinya tidak berlaku kepada perjuangan rakyat semasa menuju kemerdekaan dahulu. 

Semasa awal-awal kemerdekaan dahulu sampai ke tahun 1960-an, bolehlah kita mengidentikkannya dengan suasana yang sama terjadi di jaman reformasi sejak 1998 dengan versi berbeda. Ada nuansa kebebasan untuk menyuarakan perjuangan. Negara Republik Indonesia yang baru beranjak memerdekakan diri dari penjajahan dengan mengandalkan faham kebebasan yang disebut Demokrasi-Terpimpin. 

Apakah suasana ini dapat kita sebut dengan istilah Tong Kosong Nyaring Bunyinya? Kenyataannya rakyat Indonesia pada masa itu berhasil memunculkan sikap kebersamaan yang sangat mengikat satu samalainnya yang disebut Nasionalisme, walaupun perekonomian dan ekonomi rakyat mengalami keterpurukan yang parah. 

Semasa setelah tahun 1965, Indonesia memasuki era yang disebut Orde Baru. Faham Demokrasi yang pada dasarnya menyuarakan faham kebebasan rakyat ternyata dibungkam dengan faham yang disebut Demokrasi Pancasila, yang dikendalikan oleh kekuasaan yang mengarah kepada otoriterian. Apakah suasana ini dapat kita sebut sebagai Tong Kosong Nyaring Bunyinya? 

Walaupun ada kekuasaan yang berbau otoritarian, tetapi kenyataannya banyak kemajuan yang dicapai oleh Negara Indonesia. Pembangunan Indonesia meningkat pesat, ekonomi rakyat bertumbuh, walaupun pembungkaman ada terjadi disana. Peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya tidak lagi ditujukan kepada rakyat, tetapi pemerintahan pada masa itu tidak juga menyuarakan Tong Kosong Nyaring Bunyinya, sehingga istilah ini tidak pas ditujukan kepada pemerintahan pada masa itu. 

Semasa awal-awal terjadinya reformasi-1998, banyak muncul suara-suara perjuangan yang suasananya hampir mirip dengan awal-awal kemerdekaan yang mengidolakan kebebasan berbicara. Era ini menjadi sebuah masa yang sangat produktif menghasilkan sosok-sosok presiden sebagai tumpuan harapan kemajuan bangsa untuk memakmurkan rakyat yang berkeadilan. 

Hasil yang paling nyata di era Reformasi adalah mampunya rakyat memahami arti tentang pemilihan seorang presiden secara langsung. Bagaimana hasil lainnya? Kenyataannya tidak ada hasil lain yang diperoleh. Ekonomi rakyat tetap memburuk walaupun pemerintah berusaha bersilat lidah menyuarakan statistik pertumbuhan ekonomi rakyat meningkat. Yang nyata adalah bahwa perputaran ekonomi rakyat disektor riel tidak bertumbuh, pengangguran merajalela, kemiskinan ada dimanamana.

Pemilihan kepala daerah di hampir seluruh wilayah menciptakan gejolak-gejolak perseteruan yang menjurus kepada kerusuhan. Korupsi ada disemua lini pemerintahan. Lalu apa janji-janji yang didengungkan oleh para pemimpin sewaktu terjadinya pemilihan, baik pada tingkat gubernur maupun presiden? Semuanya masuk kategori Tong Kosong Nyaring Bunyinya. 

Kalau begitu ada dualisme pengertian tentang Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Disatu sisi dapat diartikan sebagai bualan, janji palsu yang memang tidak membuahkan apapa kepada rakyat. Disisi lain pada saat didengngungkannya istilah Tong Kosong Nyaring Bunyinya seolah belum terlihat hasilnya apa-apa tetapi dikemudian hari dinilai membuahkan hasil yang memuaskan. 

Kalau begitu; Tong Kosong Nyaring Bunyinya dapat dikatakan sebagai sebuah peribahasa atau bahasa umpama, atau bahasa kiasan yang seharusnya secara bersama-sama difahami sebagai satu pengertian, namaun perjalanan waktu ternyata membuktikan bahwa tidak selamanya Tong Kosong Nyaring Bunyinya, ada juga yang kosong itu tidak bersuara nyaring walau memang benar-benar kosong. 

Lalu apakah masih pantas kita menyebutkan sebuah istilah sebagai sebuah peribahasa bila ada kekecualiannya? Agar istilah itu tetap lestari menjadi sebuah peribahasa maka kita harus cerdik merangkaikannya menjadi “TONG KOSONG NYARING BUNYINYA'  TERKECUALI TONG YANG SUDAH BERKARAT”