HIJRAH UNTUK BIMA YANG LEBIH BAIK


Hamparan dunia yang begitu luas, menyimpan bongkahan rejeki tanpa batas, seharusnya mampu mendorong setiap orang untuk hidup berkecukupan dan sejahtera, namun kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan, Mengapa? Kalau kita diskusikan, pasti aka menemui banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan berseberangan, tapi sejatinya bukan perbedaan yang kita kedepankan tetapi mari temukan kebersamaan sebagai solusi membangun Kota Bima yang lebih baik.

Seorang guru Sekolah Dasar (SD) bertanya mengenai cita-cita pada muridnya. Saat itu, jawaban muridnya beraneka ragam, ada yang mau menjadi Peresiden, polisi, dokter, guru, pembalap, dan sebagaianya. Akan tetapi, ada satu anak yang menjawab ingin menjadi petani. Jawaban anak itu, tentu saja membuat gurunya heran. "Mengapa ingin jadi petani”?, tanya sang guru. Sang murid pun terdiam, padahal dalam benaknya tersimpan ragam jawaban tapi tak mampu Ia ungkapkan, biarlah waktu yang akan menjawab” gumannya dalam hati.

Cuplikan di atas, menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Yakni anggapan bahwa menjadi petani merupakan pekerjaan yang kurang membanggakan. Padahal petani adalah pahlawan pangan suatu bangsa. Sebab, tanpa petani kita tidak mungkin bisa menikmati makanan seperti sekarang. Namun kebanyakan masyarakat pedesaan enggan bertani, mereka lebih memilih menjual tanah dan berurbanisasi ke kota atau menjadi TKI.

Hal tersebut tidak jauh beda dengan banyaknya generasi muda yang telah mengenyam pendidikan tingkat tinggi, enggan untuk kembali ke kampung halamannya yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, pun jika pulang, akan tetap menjadi beban orang tua karena sulitnya mencari kerja. Mereka merasa sudah sarjana dan berhak memilah-milih pekerjaan yang layak sebagai sarjana. Perguruan tinggi terus saja memproduksi sarjana-sarjana baru sementara kesempatan kerja semakin sulit bahkan nyaris tidak ada, yang pada ahirnya terjadi penumpukan pengangguran dimana-mana.

Kepincangan itulah yang sudah jauh hari ada dalam pemikiran Ir. Sutarman H.Masrun MM, dan Ia mengatakan, Kepincangan dan gejolak yang terjadi di tengah masyarakat kota Bima antara lain pemicunya adalah pengangguran yang semakin merajalela dan ini harus segera dicarikan solusinya dan Ia mengaku sudah punya ide maupun gagasan untuk membenahinya.

Lebih lanjut Sutarman menegaskan, Merubah keadaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu disiasati dan yang terpenting adalah mempersiapkan anggaran yang cukup. Contoh sederhana, Saat ini, banyak petani-petani yang terjebak dengan cengkraman para tengkulak. Hanya satu cara untuk bisa membebaskan gurita yang membelit para petani, yaitu membebaskan atau membayar dulu semua utang-utang petani , kemudian mengalihkan utang-utang tersebut ke Badan Usaha Mandiri seperti koperasi Desa atau lainnya, jadi petani hanya berurusan dengan koperasi dan koperasi itu sendiri nantinya akan di manajerial secara professional oleh sarjana-sarjana yang nganggur tadi, bila perlu kita sekolahkan lagi. Tapi yang menjadi pertanyaan besar, Anggarannya dari mana? “Kita harus berani menyiasati dengan anggaran sendiri dan campur tangan pemerintah tentunya” jelas Sutarman.

Sebenarnya banyak Ide-ide maupun gagasan berelian yang ingin Ia terapkan di Kota Bima, itu berdasarkan pengalamannya melakukan study banding diberbagai daerah seluruh Indonesia, Ide-ide itu pun sudah ia terapkan pada Usaha Batu Bara yang dimilikinya di Daerah Bengkulu dan Kalimantan dan Sutarman pun menepis berbagai anggapan negatif bahwa Ia membuka usaha di daerah lain karena tidak peduli dengan perkembangan daerah sendiri, itu salah besar! tegas Sutarman.

Sutarman pun bercermin dari berbagai bencana yang menimpa Kota Bima belum lama ini, menguatkan keyakinannya bahwa inilah saat yang paling tepat dan merasa akan bermanfaat bagi orang-orang di tanah kelahiran, hingga dengan tulus ihlas serta kebulatan tekad, mengikrar diri “Hijrah untuk Bima yang lebih Baik” dengan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Bima Periode 2018-2022, karena melalui lingkaran inilah segala ide-ide bisa diterapkan, Pungkasnya.

Abunawar Bima​